BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Setiap perilaku manusia didasari
oleh kehendak, kemauan, hasrat dan perasaan yang menjadi tonggak ketika akan
melakukan sesuatu. Karena setiap manusia memilki hastrat, kemauan dan keinginan
yang berbeda-beda dan bisa juga dilihat dari tingkan umur dan tingkat
pendidikannya. Terkait masalah itu, di Negara ini sering sekali terjadi
penyimpangan baik dari kalangan pejabat, pengusaha, pedagang, guru masih kurang
tanggkap dalam berkelakuan khususnya ketika berinteraksi dengan sesamanya,
yaitu penyimpangan-penyimpangan baik dalam berkata, berbuat yang bisa merugikan
antar sesama.
Hal ini memang menjadi fenomaena
yang menurut saya”aneh”, kenapa?
Karena mereka yang sering berbuat tidak adil atau menyimpang itu terdiri dari
orang-orang yang memilki kualifikasi pendidikan yang relative tinggi, tetapi
kenapa sering melakukan poenyimpangan yang justru merugikan orang lain. Hal ini
terjadi karena para pelaku-pelaku penyimpang ini sudah jauh meninggalkan
ajaran-ajaran yang telah diajarkan oleh Nabi saw yang menjadi panutan baik
dalam berbuat, berbicara dan berinteraksi dengan sesama lebih-lebih ketika
berintrasi langsung dengan sang khaliq (Allah) pada tataran ibadah kepada-Nya.
Terkait masalah intraksi antar sesama (hubungan social) khususnya, agar tidak
terjadi saling merugikan, salah satu ajaran atau doktrin yang diajarkan oleh
Nabi saw yaitu adalah sifat-sifat terpuji anatara lain yaitu “jujur” yang
menjadi doktrin ajaran Islam karena merupakan modal utama dan menjadi dasar
dalam berbuat, bertingkah laku dan berkata dalam segala hal.
Banyak sekali kita saksikan
sekaraang ini fenomena dan problema yang sering kali menyayat hati karena
seakan tidak “logis” dan jauh dari rasa kemanusiaan. Misalanya saja praktek-praktek
korupsi, penipuan dan masalah-masalah social lainnya yang seakan sudah menadi hal
yang lumrah, ini disebabkan oleh para pelaku tidak mengerti betul tentang
ajaran Islam yang sebenarnya, khususnya tentang konsep jujur itu sendiri. Dalam
versi Muhammad Ghazaliy,[1]
hal ini bisa terjadi karena hilangnya kualitas amanat dalama hati seseorang
yang tidak jujur.
Jujur itu memang sangat mahal
harganya. Jujur merupakan doktrin tanpa makna, karena setiap manusia di muka
bumi ini bias saja dan mampu untuk berbica jikalau dia mengklaim dirinya
sebagai orang yang jujur tetapi perilaku dalam
kehidupannya sehari-hari tidak perrnah diwujudkan sehingga konssep tanpa
makna.
Begitu pentingnya arti sebuah kejujuran
sehingga menjadi kebutuhaan agar tetap bias eksis dalam meniti kehidupan ini,
sehingga dalam makalah ini kami akan membahas tentang seluk-beluk kejujuran
sebagai doktrin utama ajaran Islam itu sendiri.
B.
Rumusan Masalah
1. Apakah
pengertian kejujuran?
2. Dalil-dalil
(Al-Qur’an dan Hadist) apa saja yang mendasari teatang pentingnya kejujuran?
3. Bagaimana
cara menanamkan atau mengimplementasikan kejujuran dalam kehidupan sehari-hari?
4. Faktor-faktor
apa saja yang mempengaruhi kepribadian kejujuran?
5. Bagaimana
membentuk kepribadian kejujuran?
C. Tujuan
1. Untuk
mengetahui pengertian kejujuran
2. Untuk
mengetahui dalil-dalil (Al-Qur’an dan Hadist) tentang kejujuran
3. Untuk
mengetahui cara menanamkan kejujuran dalam kehidupan sehari-hari
4. Untuk
mengetahui factor-faktor yang mempengaruhi kepribadian kejujuran
5. Untuk
mengetahui cara membentuk kepribadian kejujuran
D. Kajian
Pustaka
Metodologi
yang digunakan dalam makalah ini adalah dengan menggunakan kajian pustaka,
karena data-data yang digunakan bersandar atau mengacu pada buku-buku yang
terkait dengan masalah kejujuran dan yang terkait dengannya. Kajian ini
dilakukan diperpustakaan, di kampus dan di rumah dalam menelaah buku-buku yang
terkait dengan kejujuran.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Kejujuran
Dari
segi bahasa, shiddiq berasal dari kata shadaqa yang berarti benar,
jujur, dapat dipercaya, ikhlas, tulus, keutamaan, kebaikan dan kesunguhan. Para
ulama menggambarkan pelaksanaan sifat shoddiq atau jujur ini sebagai berikut:
1. Melakukan
kebenaran sesuai dengan keinginan hatinya yang didasari iman yang mendalam.
2. Membenarkan
apa yang turun dari Allah swt dan rasul-Nyaseperti yang dilakukan oleh Abu
Bakar r.a ketika membenarkan israj mi’raj.
3. Menyempurnakan
amal semata-mata mengharapkan keridhoan Allah swt.[2]
Selain itu
menurut Al-Bashaa’ir, sebagaimana yang dikutip oleh Muhammad Rabbi Muhammad Jauhari,
menjelaskan bahwa:“Jujur adalah kesesuaian anatara hati dan lisan yang
memberitakannya. Ketika salah satu syarat kesesuaian itu tidak ada maka tidak
disebut jujur yang sebenarnya. Akan tetapi, boleh jadi tidak jujur, atau
sesekali jujur atau sesekali dusta, bergantung pandangan tiap-tiap orang.
Seperti perkataan orang kafir yang tanpa yakin itu, “Muhammad itu utusan
Allah”, ini sah saja disebut jujur karena beritanya seperti itu, dan sah juga
disebut dusta karena ketidaksesuaian anatara hati dan lisan. Atas pandangan
kedua inilah, Allah telah menyatakan, “sesungguhnya kamu benar-benar Rasul
Allah, maka Allah SWT menimpali, “Allah mengetahui bahwa sesungguhnya
orang-orang munafik itu benar-benar orang pendusta.” [3]
Sedangkan menurut Imam Al-Ghazali, kata As-Shiddiq (kebenaran/
kejujuran) digunakan dalam enam tempat yaitu benar dalam perkataan, benar dalam
niat dan kehhendak, benar dalam menepati kemauan, benar dalam perbuatan dan
benar dalam mewujudkan seluruh ajaran agama, maka barang siapa memilki sifat
benar dalam semua itu, ia pun seorang shiddiq. Maka, ia pun harus bersikap
benar kepada dirinya sesuai dengan sifat-sifat yang dimilkinya itu.[4]
Dari
definisi yang dikemukakan oleh para ahli dia atas dapat di simpulkan bahwa, “Jujur
bermakna keselarasan atau kesesuaian antara berita dengan kenyataan yang ada.
Jadi, kalau suatu berita sesuai dengan kenyataan yang ada, maka akan dikatakan
jujur/ benar, tetapi kalau tidak maka dikatakan dusta. Kejujuran itu ada pada
ucapan, juga ada pada perbuatan, sebagaimana seseorang yang melakukan suatu
perrbuatan,tentu sesuai dengan yang ada di batinnya.”
Sedangkan
menurut kami (pemakalah), orang yang dikatakan jujur adalah orang yang
berbicara apa adanya tanpa melebihkan atau tanpa melakukan pengurangan atas
suatu berita. Selain itu kejujuran seseorang bias kita saksisakan dari kualitas
iman seseorang dan hal ini juga sangat terkait maslah batin (hati) sesorang.
Jadi jujur itu merupakan sesuatu yang sangat dianjurkan dalam ajaran islam
sebagaimana yang dicontohkan oleh Rasulullah SAW yang merupakan figure, idola
dan icon bagi kita semua, karna beliau memilki akhlak-akhlak yang sangat
terpuji yang salah satunya adalah kejujuran, baik dalam berkata, berbuat,
berniat, brkehendak dan lebih khususnya lagi dalam masalah jujur kepada Allah
terutama dalam hal ibadah kepada-Nya.
B.
Eksporasi
Atau Dalil-Dalil (Al-Qur’an Dan Hadist) Tentang Kejujuran
1.
Dalil-Dalil Al-Qur’an
Tentang Kejujuran
Jujur atau benar (al-shidqu)
dalam al-qur’an disebutkan sekitar 130 kali. Misalnya Allah SWT telah
memerintahkan orang-orang mukmin untuk jujur.[5]
$pkr'¯»t
úïÏ%©!$# (#qãZtB#uä (#qà)®?$# ©!$# (#qçRqä.ur yìtB úüÏ%Ï»¢Á9$#
Artinya:
“
Hai orang-orang yang beriman bertakwalah kepada Allah, dan hendaklah kamu
bersama orang-orang yang benar”. (Q.S. At-Taubah: 119).
Terkait
dengan firman Allah di atas ini, dalam tafsir Ibnu Katsir dijelaskan bahwa,
“Allah SWT berfirman dalam surat At-Taubah ayat 119 untuk menghimbau
orang-orang mukmin agar bertakwa kepada Allah SWT dan selalu berkata benar,
tidak berdusta, agar digolongkan oleh Allah SWT ke dalam golongan orang-orang
yang benar.”[6]
ª!$#
Iw tm»s9Î)
wÎ)
uqèd
4
öNä3¨YyèyJôfus9
4n<Î) ÏQöqt ÏpyJ»uÉ)ø9$#
w |=÷u ÏmÏù
3
ô`tBur ä-yô¹r&
z`ÏB
«!$#
$ZVÏtn
Artinya”
“Allah, tidak ada Tuhan (yang berhak
disembah) selain Dia. Sesungguhnya dia akan mengumpulkan kamu di hari kiamat,
yang tidak ada keraguan terjadinya. dan siapakah orang yang lebih benar
perkataan(nya) dari pada Allah ?” (Q.S. An-Nisa: 87)
Dalam tafsir Ibnu Katsir menjelaskan
tentang ayat ini bahwa:
“Dalam surat An-Nisa ayat 87 bahwa, Dia Maha
Esa dan Dia adalah Tuhan bagi semua mahluk tanpa terkecuali, dan bersumpah akan
mengumpulkan umat manusia semuanya yang terdahulu maupun yang terakhir di suatu
padang mahsyar kelak di hari kiamat. Lalu membalas tiap orang dengan balasan
yang setimpal dengan amal dan perbuatannya. Dan siapakah yang lebih benar
daripada Allah SWT dalam perkataan-Nya, janji-Nya, ancaman-Nya dan cerita-Nya.
Dialah yang tuhan melainkan-Nya”.[7]
öä.ø$#ur Îû É=»tGÅ3ø9$# tLìÏdºtö/Î) 4 ¼çm¯RÎ) tb%x.
$Z)ÏdϹ $Î;¯R
Artinya:
“Ceritakanlah
(hai Muhammad) kisah Ibrahim di dalam Al Kitab (Al Quran) ini. Sesungguhnya ia
adalah seorang yang sangat membenarkan lagi seorang nabi.”(Q.S.
Maryam: 41 )
Maksudnya:
ialah Ibrahim a.s. adalah seorang nabi yang amat cepat membenarkan semua hal
yang ghaib yang datang dari Allah. Dan kejujuran disini lebih identik dengan
keimanan, atau kebenaran dalam keimanan.[8]
tA$s%
ª!$#
#x»yd ãPöqt ßìxÿZt tûüÏ%Ï»¢Á9$# öNßgè%ôϹ 4 öNçlm;
×M»¨Yy_
ÌøgrB
`ÏB $ygÏFøtrB ã»yg÷RF{$# tûïÏ$Î#»yz !$pkÏù #Yt/r& 4 zÓÅ̧ ª!$# öNåk÷]tã (#qàÊuur çm÷Ztã
4
y7Ï9ºs
ãöqxÿø9$#
ãLìÏàyèø9$#
Artinya:
“Allah berfirman: "Ini adalah suatu hari yang
bermanfaat bagi orang-orang yang benar kebenaran mereka. bagi mereka surga yang
dibawahnya mengalir sungai-sungai; mereka kekal di dalamnya selama-lamanya;
Allah ridha terhadapNya. Itulah keberuntungan yang paling besar" . (Q.S. Al-Maidah: 119)
Maksudnya yaitu, Allah meridhai segala
perbuatan-perbuatan mereka, dan merekapun merasa puas terhadap nikmat yang
Telah dicurahkan Allah kepada mereka. Karena mereka benar atau jujur dlam
setiap melakukan amal perbuatan baik dalam berbuat, berniat dalam beribadah
kepada Allah SWT karena semata-mata mengharapkan ridho-Nya, sehingga Allah SWT
menjanjikan pahala berupa surga yang dibawahnya mengalir sungai-sungai dan di
dalamnya tidak ada kesedihan, yang ada hanyalah kebahagian semata yang
berkekalan selamanya.
#sÎ)
x8uä!%y` tbqà)Ïÿ»uZßJø9$# (#qä9$s% ßpkô¶tR
y7¨RÎ) ãAqßts9 «!$# 3 ª!$#ur
ãNn=÷èt y7¨RÎ)
¼ã&è!qßts9 ª!$#ur ßpkô¶t ¨bÎ) tûüÉ)Ïÿ»uZßJø9$# cqç/É»s3s9
Artinya:
“Apabila orang-orang munafik datang kepadamu, mereka berkata:
"Kami mengakui, bahwa Sesungguhnya kamu benar-benar Rasul Allah". dan
Allah mengetahui bahwa Sesungguhnya kamu benar-benar Rasul-Nya; dan Allah
mengetahui bahwa Sesungguhnya orang-orang munafik itu benar-benar orang
pendusta”.(Q.S.
Al-Munafiqun: 1)
@è%ur
Ï$t7ÏèÏj9 (#qä9qà)t ÓÉL©9$# }Ïd ß`|¡ômr& 4 ¨bÎ) z`»sÜø¤±9$# éøu\t öNæhuZ÷t/ 4 ¨bÎ) z`»sÜø¤±9$#
c%x. Ç`»|¡SM~Ï9 #xrßtã $YZÎ7B
Artinya:
“Dan Katakanlah kepada hamha-hamba-Ku: "Hendaklah mereka
mengucapkan perkataan yang lebih baik (benar). Sesungguhnya syaitan itu
menimbulkan perselisihan di antara mereka. Sesungguhnya syaitan itu adalah
musuh yang nyata bagi manusia.”(Q.S. Al-Isra’: 53)
Dari
dalil-dalil Al-Qur' di atas dapat disimpulkan bahwa, Allah SWT menyeru kaum
mukmin untuk selalu berkata, berbuat jujur dan tidak berdusta. Dan sesungguhnya
Allah juga akan menepati janjinya, oleh sebab itu kita diwajibkan untuk selalu
patuh dan taat kepadanya karena janji Allah itu benar apa adanya karena Dia
Maha Benar atas segala sesuatu. Kejujuran atau kebenaran merupakan manifestasi
dari keimanan seseorang karena apabila keimanan seseorang itu pada level yang
tinggi mustahil dia akan melakukan dusta.
2.
Dalil-Dalil Al-Hadist Tentang Kejujuran
Rasulullah SAW
merupakan orang yang sangat sabar jujur, dan menganjurkan umatnya agar
mengikuti akhlak yang mulia ini. Berikut ini beberapa hadis yang menganjurkan
sifat jujur.
حَدَّثَنَا
عُثْمَانُ بْنُ أَبِى شَيْبَةَ حَدَّثَنَا جَرِيرٌ عَنْ مَنْصُورٍ عَنْ أَبِى
وَائِلٍ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ - رضى
الله عنه - عَنِ
النَّبِىِّ - صلى الله عليه
وسلم - قَالَ « إِنَّ
الصِّدْقَ يَهْدِى إِلَى الْبِرِّ ، وَإِنَّ الْبِرَّ يَهْدِى إِلَى الْجَنَّةِ ،
وَإِنَّ الرَّجُلَ لَيَصْدُقُ حَتَّى يَكُونَ صِدِّيقًا ، وَإِنَّ الْكَذِبَ
يَهْدِى إِلَى الْفُجُورِ، وَإِنَّ الْفُجُورَ يَهْدِى إِلَى النَّارِ ، وَإِنَّ
الرَّجُلَ لَيَكْذِبُ ، حَتَّى يُكْتَبَ عِنْدَ اللَّهِ كَذَّابًا »
Terjemahnya:
“Usman bin Abi Syaibah menceritakan kepada kami, Jarir
menceritakan pula kepada kami dari Mansur, dari Abi Wail, dari Abdullah, dari
Nabi saw. bahwa beliau bersabda: “Sungguh, kejujuran itu menunjukkan jalan
kebaikan dan kebaikan itu mengantarkan ke surga. Seseorang dapat dinilai jujur
bila ia (benar-benar) mengimplementasikan nilai kejujuran tersebut. Sebaliknya,
kebohongan itu menunjukkan jalan kesesatan dan kesesatan itu mengantarkan ke
neraka. Karenanya, seseorang yang seringkali berbohong, hingga ia dicatat di
sisi Allah swt. sebagai pembohong.”[9]
حَدَّثَنَا
أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِى شَيْبَةَ حَدَّثَنَا وَكِيعٌ أَخْبَرَنَا الأَعْمَشُ ح
وَحَدَّثَنَا مُسَدَّدٌ حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ دَاوُدَ حَدَّثَنَا
الأَعْمَشُ عَنْ أَبِى وَائِلٍ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى
الله عليه وسلم- « إِيَّاكُمْ
وَالْكَذِبَ فَإِنَّ الْكَذِبَ يَهْدِى إِلَى الْفُجُورِ وَإِنَّ الْفُجُورَ
يَهْدِى إِلَى النَّارِ وَإِنَّ الرَّجُلَ لَيَكْذِبُ وَيَتَحَرَّى الْكَذِبَ
حَتَّى يُكْتَبَ عِنْدَ اللَّهِ كَذَّابًا وَعَلَيْكُمْ بِالصِّدْقِ فَإِنَّ
الصِّدْقَ يَهْدِى إِلَى الْبِرِّ وَإِنَّ الْبِرَّ يَهْدِى إِلَى الْجَنَّةِ
وَإِنَّ الرَّجُلَ لَيَصْدُقُ وَيَتَحَرَّى الصِّدْقَ حَتَّى يُكْتَبَ عِنْدَ
اللَّهِ صِدِّيقًا
Terjemahnya:
“Abu Bakar bin Abi
Syaibah menceritakan kepada kami, Waki’ menceritakan kepada kami, al-A’masy menginformasikan
kepada kami, Musaddad mengabarkan kepada kami, Abdullah bin Daud menceritakan
kepada kami, al-A’masy menceritakan kepada kami, dari Abu Wail, dari Abdullah
bin Mas’ud, ia mengatakan bahwa Rasulullah saw. bersabda: “Waspadalah kalian
terhadap kebohongan! Sungguh, kebohongan itu menunjukkan jalan kesesatan dan
kesesatan itu mengantarkan ke neraka. Karenanya, seseorang yang seringkali
berbohong serta melakukan tindak kebohongan, hingga ia dicatat di sisi Allah
swt. sebagai pembohong. Pegang teguh kejujuran! Kejujuran itu menunjukkan jalan
kebaikan dan kebaikan itu mengantarkan ke surga. Seseorang dapat dinilai jujur
bila ia (benar-benar) mengimplementasikan nilai kejujuran tersebut secara terus
menerus.”[10]
حَدَّثَنَا
هَنَّادٌ حَدَّثَنَا أَبُو مُعَاوِيَةَ عَنِ الأَعْمَشِ عَنْ شَقِيقِ بْنِ
سَلَمَةَ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ مَسْعُودٍ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى
الله عليه وسلم- « عَلَيْكُمْ
بِالصِّدْقِ فَإِنَّ الصِّدْقَ يَهْدِى إِلَى الْبِرِّ وَإِنَّ الْبِرَّ يَهْدِى
إِلَى الْجَنَّةِ وَمَا يَزَالُ الرَّجُلُ يَصْدُقُ وَيَتَحَرَّى الصِّدْقَ حَتَّى
يُكْتَبَ عِنْدَ اللَّهِ صِدِّيقًا وَإِيَّاكُمْ وَالْكَذِبَ فَإِنَّ الْكَذِبَ
يَهْدِى إِلَى الْفُجُورِ وَإِنَّ الْفُجُورَ يَهْدِى إِلَى النَّارِ وَمَا
يَزَالُ الْعَبْدُ يَكْذِبُ وَيَتَحَرَّى الْكَذِبَ حَتَّى يُكْتَبَ عِنْدَ
اللَّهِ كَذَّابًا
Terjemahnya:
“Hannad
menceritakan kepada kami, Abu Mu’awiyah menceritakan kepada kami, dari
al-A’masy, dari Syaqiq bin Salamah, dari Abdullah bin Mas’ud, ia mengatakan
bahwa Rasulullah saw. bersabda: “Pegang teguh kejujuran! Kejujuran itu
menunjukkan jalan kebaikan dan kebaikan itu mengantarkan ke surga. Seseorang
dapat dinilai jujur bila ia (benar-benar) mengimplementasikan nilai kejujuran
tersebut. Waspadalah kalian terhadap kebohongan! Sungguh, kebohongan itu menunjukkan
jalan kesesatan dan kesesatan itu mengantarkan ke neraka. Karenanya, seseorang
yang seringkali berbohong serta melakukan tindak kebohongan, hingga ia dicatat
di sisi Allah swt. sebagai pembohong.”[11]
حَدَّثَنَا
أَبُو مُوسَى الأَنْصَارِىُّ حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ إِدْرِيسَ حَدَّثَنَا
شُعْبَةُ عَنْ بُرَيْدِ بْنِ أَبِى مَرْيَمَ عَنْ أَبِى الْحَوْرَاءِ السَّعْدِىِّ
قَالَ قُلْتُ لِلْحَسَنِ بْنِ عَلِىٍّ مَا حَفِظْتَ مِنْ رَسُولِ اللَّهِ -صلى
الله عليه وسلم- قَالَ
حَفِظْتُ مِنْ رَسُولِ اللَّهِ -صلى
الله عليه وسلم- « دَعْ
مَا يَرِيبُكَ إِلَى مَا لاَ يَرِيبُكَ فَإِنَّ الصِّدْقَ طُمَأْنِينَةٌ وَإِنَّ
الْكَذِبَ رِيبَةٌ
Terjemahnya:
“Abu Musa
al-Anshari menceritakan kepada kami, Abdullah bin Idris menceritakan kepada
kami, Syu’bah menceritakan kepada kami, dari Buraidah bin Abu Maryam, dari Abu
al-Haura’ al-Sa’di, ia mengatakan, “Saya pernah bertanya kepada al-Hasan putera
Ali bin Abi Thalib, “Apa yang anda jaga dari Rasul?” Al-Hasan menjawab, “Dari
beliau, saya menghapal (sebuah hadis), tinggalkan apa yang membuatmu ragu,
menuju apa yang tidak meragukanmu (meyakinkanmu). Sungguh, kejujuran itu
menenangkan dan sebaliknya kebohongan itu (melahirkan) keraguan.”[12]
حَدَّثَنِي
مَالِك أَنَّهُ بَلَغَهُ أَنَّ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ مَسْعُودٍ كَانَ يَقُولُ
عَلَيْكُمْ بِالصِّدْقِ فَإِنَّ الصِّدْقَ يَهْدِي إِلَى الْبِرِّ وَالْبِرَّ
يَهْدِي إِلَى الْجَنَّةِ وَإِيَّاكُمْ وَالْكَذِبَ فَإِنَّ الْكَذِبَ يَهْدِي
إِلَى الْفُجُورِ وَالْفُجُورَ يَهْدِي إِلَى النَّارِ أَلَا تَرَى أَنَّهُ
يُقَالُ صَدَقَ وَبَرَّ وَكَذَبَ وَفَجَر
Terjemahnya:
“Malik menceritakan
kepadaku dan disampaikan kepadanya bahwa Abdullah bin Mas’ud pernah mengatakan,
“Pegang teguh kejujuran! Sungguh, kejujuran itu menunjukkan jalan kebaikan dan
kebaikan itu mengantarkan ke surga. Waspadalah kalian terhadap kebohongan!
Sungguh, kebohongan itu menunjukkan jalan kesesatan dan kesesatan itu
mengantarkan ke neraka. Tahukah engkau bahwa ia (lalu) dijuluki sebagai orang
jujur, pelaku kebaikan, pembohong, dan pelaku kesesatan?”[13]
Ø
Makna Secara Umum:
Dalam hadits-hadist di atas mengandung
isyarat bahwa siapa yang berusaha untuk jujur dalam perkataan maka akan menjadi
karakternya dan barangsiapa sengaja berdusta
dan berusaha untuk dusta maka dusta menjadi karakterya. Dengan latihan
dan upaya untuk memperoleh, akan berlanjut sifat-sifat baik dan buruk.
Selain itu Hadits di atas
menunjukkan agungnya perkara kejujuran dimana ujung-ujungnya akan membawa orang
yang jujur ke jannah serta menunjukan akan besarnya keburukan dusta dimana
ujung-ujungnya membawa orang yang dusta ke neraka.
Berkenaan dengan dengan itu Abdullah menjelaskan Faedah Yang Bisa Diambil
dari Hadits di atas adalah: a) Kejujuran termasuk akhlak terpuji yang
dianjurkan oleh Islam. b) Diantara petunjuk Islam hendaknya perkataan orang
sesuai dengan isi hatinya. c) Jujur merupakan sebaik-baik sarana keselamatan di
dunia dan akhirat. d) Seorang mukmin yang bersifat jujur dicintai di sisi Allah
Ta’ala dan di sisi manusia. e) Membimbing rekan lain bahwa jujur itu jalan
keselamatan di dunia dan akhirat. f) Menjawab secara jujur ketika ditanya
pengajar tentang penyebab kurangnya melaksanakan kewajiban. g) Dusta merupakan
sifat buruk yang dilarang Islam. h) Wajib menasihati orang yang mempunyai sifat
dusta. i) Dusta merupakan jalan yang menyampaikan ke neraka.[14]
Jadi dari hadist-hadist di atas dapat disimpulkan bahwa,
Jujur dalam arti sempit adalah sesuainya ucapan lisan dengan kenyataan. Dan
dalam pengertian yang lebih umum adalah sesuainya lahir dan batin. Maka orang
yang jujur bersama Allah swt. dan bersama manusia adalah yang sesuai lahir dan
batinnya. Karena itulah, orang munafik disebutkan sebagai kebalikan orang yang
jujur, firman Allah:
yÌôfuÏj9 ª!$# tûüÏ%Ï»¢Á9$# öNÎgÏ%ôÅÁÎ/ z>Éjyèãur úüÉ)Ïÿ»oYßJø9$# bÎ) uä!$x© ÷rr& z>qçGt öNÎgøn=tæ 4 ¨bÎ) ©!$# tb%x. #Yqàÿxî $VJÏm§
Artinya:
“Supaya Allah memberikan balasan kepada orang-orang
yang benar itu Karena kebenarannya, dan menyiksa orang munafik jika
dikehendaki-Nya, atau menerima Taubat mereka. Sesungguhnya Allah adalah Maha
Pengampun lagi Maha Penyayang”.
(Q.S. Al-Ahzab: 24)
Jujur termasuk
akhlak utama yang terbagi menjadi beberapa bagian. Kejujuran, dalam hal ini,
meliputi enam hal. Pertama, kejujuran lisan, lawan dari kebohongan; kedua,
kejujuran niat, yakni ikhlas dalam berbuat; ketiga, kejujuran dalam
bertekad, yakni apapun yang dapat menguatkan tekadnya; keempat,
kejujuran dalam merealisasikan tekad yang bulat; kelima, kejujuran dalam
berbuat, minimal ada kesamaan antara apa yang diucapkan dengan yang diperbuat; keenam,
kejujuran spiritual, seperti jujur dalam mengaplikasikan konsep khawf
(rasa takut) dan raja’ (rasa harap).
Rasulullah saw. sangat membenci orang mukmin yang dusta. Suatu ketika, dalam
sebuah halaqah, para sahabat pernah bertanya:
يَارَسُوْلَ
اللهِ, أَيَكُوْنُ
الْمُؤْمِنُ جَبَّانًا؟ قَالَ: نَعَمْ. فَقِيْلَ
لَهُ: أَيَكُوْنُ
الْمُؤْمِنُ بَخِيْلاً؟ قَالَ: نَعَمْ. قِيْلَ
لَهُ: أَيَكُوْنُ
الْمُؤْمِنُ كَذَّابًا؟ قَالَ: لاَ.
Terjemahnya:
“Ya Rasulullah, apakah orang beriman ada yang penakut?
Beliau menjawab,”Ya.” Maka ada yang bertanya kepada beliau, “Apakah orang
beriman ada yang bakhil (pelit, kikir).” Beliau menjawab, “Ya.” Ada lagi yang
bertanya, “Apakah ada orang beriman yang pendusta?” Beliau menjawab, “Tidak.”
Lisan perlu dijaga, karena dampak-dampak negatif yang ditimbulkan begitu besar
seperti menyakiti orang lain, menyinggung perasaan, pertengkaran, dan bahkan
pembunuhan. Karenanya, seseorang harus mampu menjaga dan memelihara lisannya
dengan bicara yang baik dan seperlunya saja. Terkait hal ini, Rasulullah SAW,
bersabda: “Ada tiga golongan yang tidak
dapat masuk surga yaitu orang tua yang tetap melakukan zina, pemimpin yang
bohong dan kepala keluaarga yang sombong.” (HR. Al-Bazar).[15]
Selain itu Umar Bin Khattab menjelaskan bahwa, saya
melihat semua teman namun tiada teman yang paling baik daripada menjaga lidah.
Lidah itu memang sangat berbahaya diantara sekian banyak anggota tubuh manusia.
Oleh sebab itu perlu di jaga dari segala perkataan kotor seperti dusta, ghibah
dan fitnah. Sebagaimana disinyalir Nabi SAW bahwa: “siapa yang beriman kepada
Allah dan hari akhir, hendaklah ia berkata jujur (benar), dan kalau tidak
sanggup maka diam itu lebih baik.[16]
Demikianlah keutamaan jujur dalam meniti kehidupan ini
dan sebaliknya balasan berupa keburukan bagi orang-orang yang suka berdusta,
dalam Al-qur’an maupun Al-Hadist banyak diterangkan tentang keutamaan dalam
kejujuran dan keburukan dan ancaman bagi orang pendusta. Karena itu hendaknya
sebagai seorang muslim yang taat pada perintah Allah dan Rasul-Nya menjauhi
sifat dusta dan mengedepankan dalam berbuat jujur dalam segala perbuatan,
perkataan dalam kehidupan sehari-hari, karena itu merupakan cerminan iman yang
sempurna.
C. Cara Menanamkan Atau
Implementasikan Kejujuran Dalam Kehidupan Sehari-Hari
Islam
menekakan untuk mendidik dan menanamkan sifat jujur kepada anak-anak sejak dini
hingga ia tumbuh menjadi orang yang jujur. Sebab jika ia dididik dusta, ia tak
akan pernah tahu arti dan nilai sebuah kejujuran dan kebenaran setelah dewasa.
Oleh sebab itu, menananamkan sifat-sifat dan nilai kejujuran ini dimulai dari
lingkungan keluarga, misalnya anak jangan dibohongi. Karena hal ini akan ditiru
oleh anak. Menurut ilmu psikologi anak merupakan peniru yang paling ulung.
Hal ini sesuai
dengan hadis yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad bahwa :
“Dari Abdullah
bin amir berkata, “suatu hari ibu memanggilku, sedang Rasulullah SAW sedang
duduk di rumah kami. Maka ibu memanggilku, ‘Sini, aku mau memberimu’. Kemudian
Rasulullah SAW bertanya kepada ibu, ‘Apa yang hendak kamu berikan kepadanya?’
‘Aku mau memberinya kurma.’ Maka Rasulullah SAW berkata kepadanya, ‘Jika kamu
tidak memberinya sesuatu, dicatatlah dusta bagimu.[17]
Bersikap jujur kepada manusia harus
menjadi prinsip dalam bermuamalah. Tidaklah Allah menginginkan untuk membangun
satu masyarakat, kecuali di atas kejujuran karena itu merupakan modal utama
dalam dan pertama dalam pergaulan dan kehidupan social masyarakat. Apabila
demikian maka masyarakat pun akan hidup dalam ketenangan dan kebahagian. Adapun
prinsip adalah dusta maka masyarakat akan lelah dan menderita di dunia, sebelum
mereka menderita di akhirat, karena duata merupakan emberio yang membawa seseorang pada kemungkaran.
Sedangkan
menurut Muhammad Zaki, cara menanamkan atau mengimplementasikan kejujuran lebih
menekankan kepada praktek atau amaliayah
dalam kehidupan sehari-hari, beliau berpendapat bahwa:
“kejujuran yang paling afdhal adalah jujur kepada Allah, baik
dalam keadaan tersembunyi maupun terang-terangan, yaitu kamu beribadah kepada
Allah seakan-akan kamu melihatnya, jika tidak bias melihat-Nya, maka
sesungguhnya Dia melihatmu. Adapun jujur kepada sesame hamba Allah, diantaranya
jujur dengan hati, yaitu jujur dengan sejujur-jujurnya tekad untuk melakukan
apa yang ia inginkan. Sedangkan jujur dengan lisan, yaitu menggambarkan tentang
sesuatu sesuai dengan keadaan sebenarnya. Sedangkan jujur dalam beramal, yaitu
memposisikan pekerjaan sebagaimana seharusnya. Orang yang jujur itu yang
diucapkannya dan perbuatannya selaras dengan tujuannya.[18]
D. Factor-Faktor Yang Menghambat
Kepribadian Kejujuran
Kejujuran harus dilatih dan dibisakan. Kejujuran
tidak tumbuh dengan sendirinya. Oleh karena itu pendidikan sangat berperan
penting dalam menanamkan sikap dan nilai kejujuran pada peserta didik (anak).
1.
Faktor Internal
-
Belum memahami
konsep kejujuran secara jelas dan maknanya secara hakiki sehingga cenderung
melanggar dengan perkataan dusta (berbohong).
-
Mengundang
tawa canda dari setiap pembicaraannya.
-
Ingin mendapat
sanjungan dan perhatian dari orang yang di ajak berbicara.
2.
Faktor Eksternal
-
krisis keteladanan baik dari orang tua
(dikalangan keluarga) guru (dilingkungan sekolah) maupun di lingkungan
masyarakat yang terkait dengan tokoh-tokoh agama dan masyarakat. Dapat kita
saksikan secara terang benderang tidak adanya kesamaan antara kata-kata dan
perbuatan yang semakin merambah hampir di setiap rana kehidupan. Sudah bukan
rahasia lagi bahwa di lembaga pendidikan, dapat dijumpai perilaku tidak jujur
yang dilakukan individu di sekolah. Mulai dari siswa yang menyontek, sering
alasan tidak masuk kelas, sering telat masuk kelas, alasan tidak memngerjakan
PR dan lain-lain. Dari permasalahn tersebut, apabila tertanam sejak dini akan
tumbuh generasi bangsa yang korupsi waktu dan akhirnya merembet kemanamana.
-
Masyarakat
yang belum bisa menghargai kejujuran sebagai sesuatu yang hebat. Seandainya
masyarakat juga sudah menghargai kejujuran, pasti akan semakin banyak orang
jujur di negeri ini.[19]
E. Langkah Kongkrit Membentuk
Kepribadian Kejujuran
Kejujuran merupakan hal yang
penting, namun sedikit orang tua yang peduli akan kejujuran anaknya. Kejujuran
di saat dewasa tak lepas dari kejujuran yang ditanamkan saat masih anak-anak.
Ketika sejak anak-anak sudah ditanamkan kejujuran, maka sampai dewasa kejujuran
itu akan tertanam dalam jiwa si anak. Beberapa hal yang dapat dilakukan untuk
menumbuhkan jiwa kejujuran pada anak, diantaranya adalah sebagai berikut:
a)
Jangan membohongi anak
Kadang
kala orang tua membohongi anak demi sesuatu hal, misalnya agar anaknya tidak
menangis dijanjikan suatau barang, namun ketika anaknya sudah diam barang
tersebut tidak diberikan. Sehingga anak akan berfikir ternyata dia di bohongi
dan hal itu akan tetap membekas hingga dia dewasa dan ketika dewasa akan
berganti membohongi karena sejak kecil telah diajari berbohong oleh orang tuanya.
b)
Hargai kejujuran anak
Sedikit
orang tua yang mau menghargai kejujuran anaknya, sehingga ketika si anak
berusaha jujur tidak diberikan reward atas kejujurannya. Jika demikian maka
kejujuran dianggap hal yang tidak penting sehingga akan mengabaikan kejujuran
tersebut.
c)
Tanamkan kejujuran sejak dini
Ketika
anak sudah terbiasa jujur sejak kecil maka nilai-nilai kejujuran tersebut akan
terpola secara otomatis dalam pribadi anak. Sehingga si anak akan terbiasa
jujur hingga di dewasa.
d)
Selalu motivasi anak berlaku jujur
Seorang
anak memerlukan bimbingan dan motivasi secara bersinergi agar kejujuran yang
ditanamkan pada anak tetap berada dalam diri anak.[20]
KESIMPULAN
Dari
segi bahasa, shiddiq berasal dari kata shadaqa yang berarti benar,
jujur, dapat dipercaya, ikhlas, tulus, keutamaan, kebaikan dan kesunguhan.
Sehingga secara terminologi kejujuran adalah kesesuaian anatara hati dan
perbuatan, perkataan dan kehendak tanpa mengurangi sedikitpun atau memberitakan
sesuatu apa adanya.
Banyak
dalil Al-qur’an maupun al-Hadis yang menganjurkan kita untuk selalu berkata
benar atau jujur, misalnya sebagaimana firman allah dalam surat At-Taubah ayat
119 yang mengisyaratkat kita intuk selalu berkata dan bertindak dengan jujur,
karena kejujuran adalah buah dari iman seseorang. Selain itu Rasulullah SAW
selalu mendengungkan kita untuk erprilaku jujur dalam setiap keadaan karena
apabila kita selalu jujur maka kita akan di tulis sebagai orang yang jujur di sisi
Allah, sedangkan apabila selalu dusta, maka kita akan di tulis sebagai orang
yang dusta di sisi Allah AWT.
Sedangkan
cara yang paling efektif untuk kita mengimplentasikan kejujuran adalah dengan
kita berperilaku jujur dalam setiap keadaan diman pun dan kapan pun karena itu
merupakan tuntutan bagi kita kaum muslimin khususnya, danyang paling utama
adalah kejujuran kita kepada Allah dalam beribadah kepadanya. Selain itu faktor
yang menghambat nilai-nilai kejujuran itu ada beberapa faktor yaitu internal dan
ekternal. Dan langkah kongkrit dalam membentuk pribadi yang jujur adalah dengan
cara; jangan membohongi anak, hargai kejujuran anak, tanamkan kejujuran sejak
dini, dan selalu memotivasi anak untuk selalu jujur.
Bandung. 2006. Hal: 259
[4]
Rafi’ Udin. “Menggali
Mutiara Ihya’ Ulumuddin (Ringkasan)”. Pustaka Dwipar, Jakarta. 2004. Hal:
470
[6]
Salim Bahreisy dan Said Bahreisy. “Terjemah Singkat Tafsir Ibnu Katsir”.
PT Bina Ilmu, Surabaya. 2005. Hal: 168
[7]
Salim Bahreisy dan Said Bahreisy. “Terjemah Singkat Tafsir Ibnu Katsir”………..
Hal: 506
[8]
Bahrun Abu Bakar.” Tafsir Jalalain Berikut Asbaabun Nuzuul Ayat” Jilid III.
Sinar Baru Algesindo. Bandung. 2003.
Hal; 1254
[9]
Al-Bukhari, “Shahih al-Bukhari”,
al-Maktabah al-Syamilah al-Hadis
al-Syarif, Volume XX, h. 247, hadis nomor
6094.
[10]
Abu Daud bin Sulaiman bin Asy‘as
al-Sijistani, Sunan Abi Dawud, bab al-Tasydid fi al-Kadzib,
al-Maktabah al
-Syamilah al-Hadis al-Syarif, Volume XIV, h. 324, hadis nomor 4991.
[11]
Al-Tirmizi,
Sunan al-Tirmizi, bab Ma Jaa fi al-Shidq wa al-Kadzibi, Volume
VII, h. 463, hadis nomor 2099.
[12]
Al-Tirmizi, Sunan
al-Tirmizi, bab A’qaluha wa Tawakkul, Volume IX, h. 433, hadis nomor
2708.
[13]
Anas bin Malik, al-Muwatta’,
bab Ma Jaa fi al-Shidq wa al-Kadzib, Volume V, h. 1440, hadis nomor
3627.
[15]
Iqbal Maulana Haji. “orang-Orang
Yang Di Ancam Allah”. Berkah Jaya, Surabaya. 2003. Hal: 44
[16]
Syech Muhammad Nawawi. “Nashaihul Ibad”. Penj. Ahmad Abdul Majid.
Mutiara Ilmu, Surabaya. 2007. Hal: 69
[19]
http://Edukasi.kompasiana.com/2011/03/14/s.
akses, 10-04-2011. 19.00 pm
2012. 13.00 pm
Tidak ada komentar:
Posting Komentar