Sabtu, 10 Juni 2017

makalah tentang kejujuran

BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Setiap perilaku manusia didasari oleh kehendak, kemauan, hasrat dan perasaan yang menjadi tonggak ketika akan melakukan sesuatu. Karena setiap manusia memilki hastrat, kemauan dan keinginan yang berbeda-beda dan bisa juga dilihat dari tingkan umur dan tingkat pendidikannya. Terkait masalah itu, di Negara ini sering sekali terjadi penyimpangan baik dari kalangan pejabat, pengusaha, pedagang, guru masih kurang tanggkap dalam berkelakuan khususnya ketika berinteraksi dengan sesamanya, yaitu penyimpangan-penyimpangan baik dalam berkata, berbuat yang bisa merugikan antar sesama.
Hal ini memang menjadi fenomaena yang menurut saya”aneh”, kenapa? Karena mereka yang sering berbuat tidak adil atau menyimpang itu terdiri dari orang-orang yang memilki kualifikasi pendidikan yang relative tinggi, tetapi kenapa sering melakukan poenyimpangan yang justru merugikan orang lain. Hal ini terjadi karena para pelaku-pelaku penyimpang ini sudah jauh meninggalkan ajaran-ajaran yang telah diajarkan oleh Nabi saw yang menjadi panutan baik dalam berbuat, berbicara dan berinteraksi dengan sesama lebih-lebih ketika berintrasi langsung dengan sang khaliq (Allah) pada tataran ibadah kepada-Nya. Terkait masalah intraksi antar sesama (hubungan social) khususnya, agar tidak terjadi saling merugikan, salah satu ajaran atau doktrin yang diajarkan oleh Nabi saw yaitu adalah sifat-sifat terpuji anatara lain yaitu “jujur” yang menjadi doktrin ajaran Islam karena merupakan modal utama dan menjadi dasar dalam berbuat, bertingkah laku dan berkata dalam segala hal.
Banyak sekali kita saksikan sekaraang ini fenomena dan problema yang sering kali menyayat hati karena seakan tidak “logis” dan jauh dari rasa kemanusiaan. Misalanya saja praktek-praktek korupsi, penipuan dan masalah-masalah social lainnya yang seakan sudah menadi hal yang lumrah, ini disebabkan oleh para pelaku tidak mengerti betul tentang ajaran Islam yang sebenarnya, khususnya tentang konsep jujur itu sendiri. Dalam versi Muhammad Ghazaliy,[1] hal ini bisa terjadi karena hilangnya kualitas amanat dalama hati seseorang yang tidak jujur.
Jujur itu memang sangat mahal harganya. Jujur merupakan doktrin tanpa makna, karena setiap manusia di muka bumi ini bias saja dan mampu untuk berbica jikalau dia mengklaim dirinya sebagai orang yang jujur tetapi perilaku dalam  kehidupannya sehari-hari tidak perrnah diwujudkan sehingga konssep tanpa makna.
Begitu pentingnya arti sebuah kejujuran sehingga menjadi kebutuhaan agar tetap bias eksis dalam meniti kehidupan ini, sehingga dalam makalah ini kami akan membahas tentang seluk-beluk kejujuran sebagai doktrin utama ajaran Islam itu sendiri.
B.     Rumusan Masalah
1.      Apakah pengertian kejujuran?
2.      Dalil-dalil (Al-Qur’an dan Hadist) apa saja yang mendasari teatang pentingnya kejujuran?
3.      Bagaimana cara menanamkan atau mengimplementasikan kejujuran dalam kehidupan sehari-hari?
4.      Faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi kepribadian kejujuran?
5.      Bagaimana membentuk kepribadian kejujuran?
C.    Tujuan
1.      Untuk mengetahui pengertian kejujuran
2.      Untuk mengetahui dalil-dalil (Al-Qur’an dan Hadist) tentang kejujuran
3.      Untuk mengetahui cara menanamkan kejujuran dalam kehidupan sehari-hari
4.      Untuk mengetahui factor-faktor yang mempengaruhi kepribadian kejujuran
5.      Untuk mengetahui cara membentuk kepribadian kejujuran
D.    Kajian Pustaka
Metodologi yang digunakan dalam makalah ini adalah dengan menggunakan kajian pustaka, karena data-data yang digunakan bersandar atau mengacu pada buku-buku yang terkait dengan masalah kejujuran dan yang terkait dengannya. Kajian ini dilakukan diperpustakaan, di kampus dan di rumah dalam menelaah buku-buku yang terkait dengan kejujuran.
BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pengertian Kejujuran
Dari segi bahasa, shiddiq  berasal dari kata shadaqa yang berarti benar, jujur, dapat dipercaya, ikhlas, tulus, keutamaan, kebaikan dan kesunguhan. Para ulama menggambarkan pelaksanaan sifat shoddiq atau jujur ini sebagai berikut:
1.      Melakukan kebenaran sesuai dengan keinginan hatinya yang didasari iman yang mendalam.
2.      Membenarkan apa yang turun dari Allah swt dan rasul-Nyaseperti yang dilakukan oleh Abu Bakar r.a ketika membenarkan israj mi’raj.
3.      Menyempurnakan amal semata-mata mengharapkan keridhoan Allah swt.[2]
Selain itu menurut Al-Bashaa’ir, sebagaimana yang dikutip oleh Muhammad Rabbi Muhammad Jauhari, menjelaskan bahwa:“Jujur adalah kesesuaian anatara hati dan lisan yang memberitakannya. Ketika salah satu syarat kesesuaian itu tidak ada maka tidak disebut jujur yang sebenarnya. Akan tetapi, boleh jadi tidak jujur, atau sesekali jujur atau sesekali dusta, bergantung pandangan tiap-tiap orang. Seperti perkataan orang kafir yang tanpa yakin itu, “Muhammad itu utusan Allah”, ini sah saja disebut jujur karena beritanya seperti itu, dan sah juga disebut dusta karena ketidaksesuaian anatara hati dan lisan. Atas pandangan kedua inilah, Allah telah menyatakan, “sesungguhnya kamu benar-benar Rasul Allah, maka Allah SWT menimpali, “Allah mengetahui bahwa sesungguhnya orang-orang munafik itu benar-benar orang pendusta.” [3]
Sedangkan menurut Imam Al-Ghazali, kata As-Shiddiq (kebenaran/ kejujuran) digunakan dalam enam tempat yaitu benar dalam perkataan, benar dalam niat dan kehhendak, benar dalam menepati kemauan, benar dalam perbuatan dan benar dalam mewujudkan seluruh ajaran agama, maka barang siapa memilki sifat benar dalam semua itu, ia pun seorang shiddiq. Maka, ia pun harus bersikap benar kepada dirinya sesuai dengan sifat-sifat yang dimilkinya itu.[4]
Dari definisi yang dikemukakan oleh para ahli dia atas dapat di simpulkan bahwa, “Jujur bermakna keselarasan atau kesesuaian antara berita dengan kenyataan yang ada. Jadi, kalau suatu berita sesuai dengan kenyataan yang ada, maka akan dikatakan jujur/ benar, tetapi kalau tidak maka dikatakan dusta. Kejujuran itu ada pada ucapan, juga ada pada perbuatan, sebagaimana seseorang yang melakukan suatu perrbuatan,tentu sesuai dengan yang ada di batinnya.”
Sedangkan menurut kami (pemakalah), orang yang dikatakan jujur adalah orang yang berbicara apa adanya tanpa melebihkan atau tanpa melakukan pengurangan atas suatu berita. Selain itu kejujuran seseorang bias kita saksisakan dari kualitas iman seseorang dan hal ini juga sangat terkait maslah batin (hati) sesorang. Jadi jujur itu merupakan sesuatu yang sangat dianjurkan dalam ajaran islam sebagaimana yang dicontohkan oleh Rasulullah SAW yang merupakan figure, idola dan icon bagi kita semua, karna beliau memilki akhlak-akhlak yang sangat terpuji yang salah satunya adalah kejujuran, baik dalam berkata, berbuat, berniat, brkehendak dan lebih khususnya lagi dalam masalah jujur kepada Allah terutama dalam hal ibadah kepada-Nya.

B.     Eksporasi Atau Dalil-Dalil (Al-Qur’an Dan Hadist) Tentang Kejujuran

1.      Dalil-Dalil Al-Qur’an Tentang Kejujuran
Jujur atau benar (al-shidqu) dalam al-qur’an disebutkan sekitar 130 kali. Misalnya Allah SWT telah memerintahkan orang-orang mukmin untuk jujur.[5]
$pkšr'¯»tƒ šúïÏ%©!$# (#qãZtB#uä (#qà)®?$# ©!$# (#qçRqä.ur yìtB šúüÏ%Ï»¢Á9$# 
Artinya:
“ Hai orang-orang yang beriman bertakwalah kepada Allah, dan hendaklah kamu bersama orang-orang yang benar”. (Q.S. At-Taubah: 119).

Terkait dengan firman Allah di atas ini, dalam tafsir Ibnu Katsir dijelaskan bahwa, “Allah SWT berfirman dalam surat At-Taubah ayat 119 untuk menghimbau orang-orang mukmin agar bertakwa kepada Allah SWT dan selalu berkata benar, tidak berdusta, agar digolongkan oleh Allah SWT ke dalam golongan orang-orang yang benar.”[6]

ª!$# Iw tm»s9Î) žwÎ) uqèd 4 öNä3¨YyèyJôfus9 4n<Î) ÏQöqtƒ ÏpyJ»uŠÉ)ø9$# Ÿw |=÷ƒu ÏmŠÏù 3 ô`tBur ä-yô¹r& z`ÏB «!$# $ZVƒÏtn


Artinya”
Allah, tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia. Sesungguhnya dia akan mengumpulkan kamu di hari kiamat, yang tidak ada keraguan terjadinya. dan siapakah orang yang lebih benar perkataan(nya) dari pada Allah ?” (Q.S. An-Nisa: 87)

Dalam tafsir Ibnu Katsir menjelaskan tentang ayat ini bahwa:
 “Dalam surat An-Nisa ayat 87 bahwa, Dia Maha Esa dan Dia adalah Tuhan bagi semua mahluk tanpa terkecuali, dan bersumpah akan mengumpulkan umat manusia semuanya yang terdahulu maupun yang terakhir di suatu padang mahsyar kelak di hari kiamat. Lalu membalas tiap orang dengan balasan yang setimpal dengan amal dan perbuatannya. Dan siapakah yang lebih benar daripada Allah SWT dalam perkataan-Nya, janji-Nya, ancaman-Nya dan cerita-Nya. Dialah yang tuhan melainkan-Nya”.[7]

öä.øŒ$#ur Îû É=»tGÅ3ø9$# tLìÏdºtö/Î) 4 ¼çm¯RÎ) tb%x. $Z)ƒÏdϹ $Î;¯R
Artinya:
“Ceritakanlah (hai Muhammad) kisah Ibrahim di dalam Al Kitab (Al Quran) ini. Sesungguhnya ia adalah seorang yang sangat membenarkan lagi seorang nabi.”(Q.S. Maryam: 41 )

Maksudnya: ialah Ibrahim a.s. adalah seorang nabi yang amat cepat membenarkan semua hal yang ghaib yang datang dari Allah. Dan kejujuran disini lebih identik dengan keimanan, atau kebenaran dalam keimanan.[8]

tA$s% ª!$# #x»yd ãPöqtƒ ßìxÿZtƒ tûüÏ%Ï»¢Á9$# öNßgè%ôϹ 4 öNçlm; ×M»¨Yy_ ̍øgrB `ÏB $ygÏFøtrB ㍻yg÷RF{$# tûïÏ$Î#»yz !$pkŽÏù #Yt/r& 4 zÓÅ̧ ª!$# öNåk÷]tã (#qàÊuur çm÷Ztã 4 y7Ï9ºsŒ ãöqxÿø9$# ãLìÏàyèø9$#
Artinya:
“Allah berfirman: "Ini adalah suatu hari yang bermanfaat bagi orang-orang yang benar kebenaran mereka. bagi mereka surga yang dibawahnya mengalir sungai-sungai; mereka kekal di dalamnya selama-lamanya; Allah ridha terhadapNya. Itulah keberuntungan yang paling besar" . (Q.S. Al-Maidah: 119)

Maksudnya yaitu, Allah meridhai segala perbuatan-perbuatan mereka, dan merekapun merasa puas terhadap nikmat yang Telah dicurahkan Allah kepada mereka. Karena mereka benar atau jujur dlam setiap melakukan amal perbuatan baik dalam berbuat, berniat dalam beribadah kepada Allah SWT karena semata-mata mengharapkan ridho-Nya, sehingga Allah SWT menjanjikan pahala berupa surga yang dibawahnya mengalir sungai-sungai dan di dalamnya tidak ada kesedihan, yang ada hanyalah kebahagian semata yang berkekalan selamanya.

#sŒÎ) x8uä!%y` tbqà)Ïÿ»uZßJø9$# (#qä9$s% ßpkôtR y7¨RÎ) ãAqßts9 «!$# 3 ª!$#ur ãNn=÷ètƒ y7¨RÎ) ¼ã&è!qßts9 ª!$#ur ßpkôtƒ ¨bÎ) tûüÉ)Ïÿ»uZßJø9$# šcqç/É»s3s9
Artinya:
Apabila orang-orang munafik datang kepadamu, mereka berkata: "Kami mengakui, bahwa Sesungguhnya kamu benar-benar Rasul Allah". dan Allah mengetahui bahwa Sesungguhnya kamu benar-benar Rasul-Nya; dan Allah mengetahui bahwa Sesungguhnya orang-orang munafik itu benar-benar orang pendusta.(Q.S. Al-Munafiqun: 1)

@è%ur ÏŠ$t7ÏèÏj9 (#qä9qà)tƒ ÓÉL©9$# }Ïd ß`|¡ômr& 4 ¨bÎ) z`»sÜø¤±9$# éøu\tƒ öNæhuZ÷t/ 4 ¨bÎ) z`»sÜø¤±9$# šc%x. Ç`»|¡SM~Ï9 #xrßtã $YZÎ7B
Artinya:
Dan Katakanlah kepada hamha-hamba-Ku: "Hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang lebih baik (benar). Sesungguhnya syaitan itu menimbulkan perselisihan di antara mereka. Sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang nyata bagi manusia.(Q.S. Al-Isra: 53)


Dari dalil-dalil Al-Qur' di atas dapat disimpulkan bahwa, Allah SWT menyeru kaum mukmin untuk selalu berkata, berbuat jujur dan tidak berdusta. Dan sesungguhnya Allah juga akan menepati janjinya, oleh sebab itu kita diwajibkan untuk selalu patuh dan taat kepadanya karena janji Allah itu benar apa adanya karena Dia Maha Benar atas segala sesuatu. Kejujuran atau kebenaran merupakan manifestasi dari keimanan seseorang karena apabila keimanan seseorang itu pada level yang tinggi mustahil dia akan melakukan dusta.

2.      Dalil-Dalil Al-Hadist Tentang Kejujuran
Rasulullah SAW merupakan orang yang sangat sabar jujur, dan menganjurkan umatnya agar mengikuti akhlak yang mulia ini. Berikut ini beberapa hadis yang menganjurkan sifat jujur.
حَدَّثَنَا عُثْمَانُ بْنُ أَبِى شَيْبَةَ حَدَّثَنَا جَرِيرٌ عَنْ مَنْصُورٍ عَنْ أَبِى وَائِلٍ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ - رضى الله عنه - عَنِ النَّبِىِّ - صلى الله عليه وسلم - قَالَ « إِنَّ الصِّدْقَ يَهْدِى إِلَى الْبِرِّ ، وَإِنَّ الْبِرَّ يَهْدِى إِلَى الْجَنَّةِ ، وَإِنَّ الرَّجُلَ لَيَصْدُقُ حَتَّى يَكُونَ صِدِّيقًا ، وَإِنَّ الْكَذِبَ يَهْدِى إِلَى الْفُجُورِ، وَإِنَّ الْفُجُورَ يَهْدِى إِلَى النَّارِ ، وَإِنَّ الرَّجُلَ لَيَكْذِبُ ، حَتَّى يُكْتَبَ عِنْدَ اللَّهِ كَذَّابًا »
Terjemahnya:
Usman bin Abi Syaibah menceritakan kepada kami, Jarir menceritakan pula kepada kami dari Mansur, dari Abi Wail, dari Abdullah, dari Nabi saw. bahwa beliau bersabda: “Sungguh, kejujuran itu menunjukkan jalan kebaikan dan kebaikan itu mengantarkan ke surga. Seseorang dapat dinilai jujur bila ia (benar-benar) mengimplementasikan nilai kejujuran tersebut. Sebaliknya, kebohongan itu menunjukkan jalan kesesatan dan kesesatan itu mengantarkan ke neraka. Karenanya, seseorang yang seringkali berbohong, hingga ia dicatat di sisi Allah swt. sebagai pembohong.”[9]
حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِى شَيْبَةَ حَدَّثَنَا وَكِيعٌ أَخْبَرَنَا الأَعْمَشُ ح وَحَدَّثَنَا مُسَدَّدٌ حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ دَاوُدَ حَدَّثَنَا الأَعْمَشُ عَنْ أَبِى وَائِلٍ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « إِيَّاكُمْ وَالْكَذِبَ فَإِنَّ الْكَذِبَ يَهْدِى إِلَى الْفُجُورِ وَإِنَّ الْفُجُورَ يَهْدِى إِلَى النَّارِ وَإِنَّ الرَّجُلَ لَيَكْذِبُ وَيَتَحَرَّى الْكَذِبَ حَتَّى يُكْتَبَ عِنْدَ اللَّهِ كَذَّابًا وَعَلَيْكُمْ بِالصِّدْقِ فَإِنَّ الصِّدْقَ يَهْدِى إِلَى الْبِرِّ وَإِنَّ الْبِرَّ يَهْدِى إِلَى الْجَنَّةِ وَإِنَّ الرَّجُلَ لَيَصْدُقُ وَيَتَحَرَّى الصِّدْقَ حَتَّى يُكْتَبَ عِنْدَ اللَّهِ صِدِّيقًا
Terjemahnya:
“Abu Bakar bin Abi Syaibah menceritakan kepada kami, Waki’ menceritakan kepada kami, al-A’masy menginformasikan kepada kami, Musaddad mengabarkan kepada kami, Abdullah bin Daud menceritakan kepada kami, al-A’masy menceritakan kepada kami, dari Abu Wail, dari Abdullah bin Mas’ud, ia mengatakan bahwa Rasulullah saw. bersabda: “Waspadalah kalian terhadap kebohongan! Sungguh, kebohongan itu menunjukkan jalan kesesatan dan kesesatan itu mengantarkan ke neraka. Karenanya, seseorang yang seringkali berbohong serta melakukan tindak kebohongan, hingga ia dicatat di sisi Allah swt. sebagai pembohong. Pegang teguh kejujuran! Kejujuran itu menunjukkan jalan kebaikan dan kebaikan itu mengantarkan ke surga. Seseorang dapat dinilai jujur bila ia (benar-benar) mengimplementasikan nilai kejujuran tersebut secara terus menerus.”[10]
حَدَّثَنَا هَنَّادٌ حَدَّثَنَا أَبُو مُعَاوِيَةَ عَنِ الأَعْمَشِ عَنْ شَقِيقِ بْنِ سَلَمَةَ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ مَسْعُودٍ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « عَلَيْكُمْ بِالصِّدْقِ فَإِنَّ الصِّدْقَ يَهْدِى إِلَى الْبِرِّ وَإِنَّ الْبِرَّ يَهْدِى إِلَى الْجَنَّةِ وَمَا يَزَالُ الرَّجُلُ يَصْدُقُ وَيَتَحَرَّى الصِّدْقَ حَتَّى يُكْتَبَ عِنْدَ اللَّهِ صِدِّيقًا وَإِيَّاكُمْ وَالْكَذِبَ فَإِنَّ الْكَذِبَ يَهْدِى إِلَى الْفُجُورِ وَإِنَّ الْفُجُورَ يَهْدِى إِلَى النَّارِ وَمَا يَزَالُ الْعَبْدُ يَكْذِبُ وَيَتَحَرَّى الْكَذِبَ حَتَّى يُكْتَبَ عِنْدَ اللَّهِ كَذَّابًا
Terjemahnya:
“Hannad menceritakan kepada kami, Abu Mu’awiyah menceritakan kepada kami, dari al-A’masy, dari Syaqiq bin Salamah, dari Abdullah bin Mas’ud, ia mengatakan bahwa Rasulullah saw. bersabda: “Pegang teguh kejujuran! Kejujuran itu menunjukkan jalan kebaikan dan kebaikan itu mengantarkan ke surga. Seseorang dapat dinilai jujur bila ia (benar-benar) mengimplementasikan nilai kejujuran tersebut. Waspadalah kalian terhadap kebohongan! Sungguh, kebohongan itu menunjukkan jalan kesesatan dan kesesatan itu mengantarkan ke neraka. Karenanya, seseorang yang seringkali berbohong serta melakukan tindak kebohongan, hingga ia dicatat di sisi Allah swt. sebagai pembohong.”[11]

حَدَّثَنَا أَبُو مُوسَى الأَنْصَارِىُّ حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ إِدْرِيسَ حَدَّثَنَا شُعْبَةُ عَنْ بُرَيْدِ بْنِ أَبِى مَرْيَمَ عَنْ أَبِى الْحَوْرَاءِ السَّعْدِىِّ قَالَ قُلْتُ لِلْحَسَنِ بْنِ عَلِىٍّ مَا حَفِظْتَ مِنْ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- قَالَ حَفِظْتُ مِنْ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « دَعْ مَا يَرِيبُكَ إِلَى مَا لاَ يَرِيبُكَ فَإِنَّ الصِّدْقَ طُمَأْنِينَةٌ وَإِنَّ الْكَذِبَ رِيبَةٌ
Terjemahnya:
“Abu Musa al-Anshari menceritakan kepada kami, Abdullah bin Idris menceritakan kepada kami, Syu’bah menceritakan kepada kami, dari Buraidah bin Abu Maryam, dari Abu al-Haura’ al-Sa’di, ia mengatakan, “Saya pernah bertanya kepada al-Hasan putera Ali bin Abi Thalib, “Apa yang anda jaga dari Rasul?” Al-Hasan menjawab, “Dari beliau, saya menghapal (sebuah hadis), tinggalkan apa yang membuatmu ragu, menuju apa yang tidak meragukanmu (meyakinkanmu). Sungguh, kejujuran itu menenangkan dan sebaliknya kebohongan itu (melahirkan) keraguan.”[12]
حَدَّثَنِي مَالِك أَنَّهُ بَلَغَهُ أَنَّ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ مَسْعُودٍ كَانَ يَقُولُ عَلَيْكُمْ بِالصِّدْقِ فَإِنَّ الصِّدْقَ يَهْدِي إِلَى الْبِرِّ وَالْبِرَّ يَهْدِي إِلَى الْجَنَّةِ وَإِيَّاكُمْ وَالْكَذِبَ فَإِنَّ الْكَذِبَ يَهْدِي إِلَى الْفُجُورِ وَالْفُجُورَ يَهْدِي إِلَى النَّارِ أَلَا تَرَى أَنَّهُ يُقَالُ صَدَقَ وَبَرَّ وَكَذَبَ وَفَجَر
Terjemahnya:
“Malik menceritakan kepadaku dan disampaikan kepadanya bahwa Abdullah bin Mas’ud pernah mengatakan, “Pegang teguh kejujuran! Sungguh, kejujuran itu menunjukkan jalan kebaikan dan kebaikan itu mengantarkan ke surga. Waspadalah kalian terhadap kebohongan! Sungguh, kebohongan itu menunjukkan jalan kesesatan dan kesesatan itu mengantarkan ke neraka. Tahukah engkau bahwa ia (lalu) dijuluki sebagai orang jujur, pelaku kebaikan, pembohong, dan pelaku kesesatan?”[13]
Ø  Makna Secara Umum:
Dalam hadits-hadist di atas mengandung isyarat bahwa siapa yang berusaha untuk jujur dalam perkataan maka akan menjadi karakternya dan barangsiapa sengaja berdusta  dan berusaha untuk dusta maka dusta menjadi karakterya. Dengan latihan dan upaya untuk memperoleh, akan berlanjut sifat-sifat baik dan buruk.
Selain itu Hadits di atas menunjukkan agungnya perkara kejujuran dimana ujung-ujungnya akan membawa orang yang jujur ke jannah serta menunjukan akan besarnya keburukan dusta dimana ujung-ujungnya membawa orang yang dusta ke neraka.
Berkenaan dengan dengan itu  Abdullah menjelaskan Faedah Yang Bisa Diambil dari Hadits di atas adalah: a) Kejujuran termasuk akhlak terpuji yang dianjurkan oleh Islam. b) Diantara petunjuk Islam hendaknya perkataan orang sesuai dengan isi hatinya. c) Jujur merupakan sebaik-baik sarana keselamatan di dunia dan akhirat. d) Seorang mukmin yang bersifat jujur dicintai di sisi Allah Ta’ala dan di sisi manusia. e) Membimbing rekan lain bahwa jujur itu jalan keselamatan di dunia dan akhirat. f) Menjawab secara jujur ketika ditanya pengajar tentang penyebab kurangnya melaksanakan kewajiban. g) Dusta merupakan sifat buruk yang dilarang Islam. h) Wajib menasihati orang yang mempunyai sifat dusta. i) Dusta merupakan jalan yang menyampaikan ke neraka.[14]
            Jadi dari hadist-hadist di atas dapat disimpulkan bahwa, Jujur dalam arti sempit adalah sesuainya ucapan lisan dengan kenyataan. Dan dalam pengertian yang lebih umum adalah sesuainya lahir dan batin. Maka orang yang jujur bersama Allah swt. dan bersama manusia adalah yang sesuai lahir dan batinnya. Karena itulah, orang munafik disebutkan sebagai kebalikan orang yang jujur, firman Allah:
yÌôfuÏj9 ª!$# tûüÏ%Ï»¢Á9$# öNÎgÏ%ôÅÁÎ/ z>Éjyèãƒur šúüÉ)Ïÿ»oYßJø9$# bÎ) uä!$x© ÷rr& z>qçGtƒ öNÎgøŠn=tæ 4 ¨bÎ) ©!$# tb%x. #Yqàÿxî $VJŠÏm§
Artinya:
“Supaya Allah memberikan balasan kepada orang-orang yang benar itu Karena kebenarannya, dan menyiksa orang munafik jika dikehendaki-Nya, atau menerima Taubat mereka. Sesungguhnya Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”. (Q.S. Al-Ahzab: 24)
Jujur termasuk akhlak utama yang terbagi menjadi beberapa bagian. Kejujuran, dalam hal ini, meliputi enam hal. Pertama, kejujuran lisan, lawan dari kebohongan; kedua, kejujuran niat, yakni ikhlas dalam berbuat; ketiga, kejujuran dalam bertekad, yakni apapun yang dapat menguatkan tekadnya; keempat, kejujuran dalam merealisasikan tekad yang bulat; kelima, kejujuran dalam berbuat, minimal ada kesamaan antara apa yang diucapkan dengan yang diperbuat; keenam, kejujuran spiritual, seperti jujur dalam mengaplikasikan konsep khawf (rasa takut) dan raja’ (rasa harap).
            Rasulullah saw. sangat membenci orang mukmin yang dusta. Suatu ketika, dalam sebuah halaqah, para sahabat pernah bertanya:
يَارَسُوْلَ اللهِ, أَيَكُوْنُ الْمُؤْمِنُ جَبَّانًا؟ قَالَ: نَعَمْ. فَقِيْلَ لَهُ: أَيَكُوْنُ الْمُؤْمِنُ بَخِيْلاً؟ قَالَ: نَعَمْ. قِيْلَ لَهُأَيَكُوْنُ الْمُؤْمِنُ كَذَّابًا؟ قَالَ: لاَ.
Terjemahnya:
Ya Rasulullah, apakah orang beriman ada yang penakut? Beliau menjawab,”Ya.” Maka ada yang bertanya kepada beliau, “Apakah orang beriman ada yang bakhil (pelit, kikir).” Beliau menjawab, “Ya.” Ada lagi yang bertanya, “Apakah ada orang beriman yang pendusta?” Beliau menjawab, “Tidak.”
            Lisan perlu dijaga, karena dampak-dampak negatif yang ditimbulkan begitu besar seperti menyakiti orang lain, menyinggung perasaan, pertengkaran, dan bahkan pembunuhan. Karenanya, seseorang harus mampu menjaga dan memelihara lisannya dengan bicara yang baik dan seperlunya saja. Terkait hal ini, Rasulullah SAW, bersabda: “Ada tiga golongan  yang tidak dapat masuk surga yaitu orang tua yang tetap melakukan zina, pemimpin yang bohong dan kepala keluaarga yang sombong.” (HR. Al-Bazar).[15] 
Selain itu Umar Bin Khattab menjelaskan bahwa, saya melihat semua teman namun tiada teman yang paling baik daripada menjaga lidah. Lidah itu memang sangat berbahaya diantara sekian banyak anggota tubuh manusia. Oleh sebab itu perlu di jaga dari segala perkataan kotor seperti dusta, ghibah dan fitnah. Sebagaimana disinyalir Nabi SAW bahwa: “siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah ia berkata jujur (benar), dan kalau tidak sanggup maka diam itu lebih baik.[16]
Demikianlah keutamaan jujur dalam meniti kehidupan ini dan sebaliknya balasan berupa keburukan bagi orang-orang yang suka berdusta, dalam Al-qur’an maupun Al-Hadist banyak diterangkan tentang keutamaan dalam kejujuran dan keburukan dan ancaman bagi orang pendusta. Karena itu hendaknya sebagai seorang muslim yang taat pada perintah Allah dan Rasul-Nya menjauhi sifat dusta dan mengedepankan dalam berbuat jujur dalam segala perbuatan, perkataan dalam kehidupan sehari-hari, karena itu merupakan cerminan iman yang sempurna.

C.    Cara Menanamkan Atau Implementasikan Kejujuran Dalam Kehidupan Sehari-Hari
Islam menekakan untuk mendidik dan menanamkan sifat jujur kepada anak-anak sejak dini hingga ia tumbuh menjadi orang yang jujur. Sebab jika ia dididik dusta, ia tak akan pernah tahu arti dan nilai sebuah kejujuran dan kebenaran setelah dewasa. Oleh sebab itu, menananamkan sifat-sifat dan nilai kejujuran ini dimulai dari lingkungan keluarga, misalnya anak jangan dibohongi. Karena hal ini akan ditiru oleh anak. Menurut ilmu psikologi anak merupakan peniru yang paling ulung.
Hal ini sesuai dengan hadis yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad bahwa :
“Dari Abdullah bin amir berkata, “suatu hari ibu memanggilku, sedang Rasulullah SAW sedang duduk di rumah kami. Maka ibu memanggilku, ‘Sini, aku mau memberimu’. Kemudian Rasulullah SAW bertanya kepada ibu, ‘Apa yang hendak kamu berikan kepadanya?’ ‘Aku mau memberinya kurma.’ Maka Rasulullah SAW berkata kepadanya, ‘Jika kamu tidak memberinya sesuatu, dicatatlah dusta bagimu.[17]
Bersikap jujur kepada manusia harus menjadi prinsip dalam bermuamalah. Tidaklah Allah menginginkan untuk membangun satu masyarakat, kecuali di atas kejujuran karena itu merupakan modal utama dalam dan pertama dalam pergaulan dan kehidupan social masyarakat. Apabila demikian maka masyarakat pun akan hidup dalam ketenangan dan kebahagian. Adapun prinsip adalah dusta maka masyarakat akan lelah dan menderita di dunia, sebelum mereka menderita di akhirat, karena duata merupakan emberio yang membawa seseorang pada kemungkaran.
Sedangkan menurut Muhammad Zaki, cara menanamkan atau mengimplementasikan kejujuran lebih menekankan kepada praktek atau amaliayah dalam kehidupan sehari-hari, beliau berpendapat bahwa:
“kejujuran yang paling afdhal adalah jujur kepada Allah, baik dalam keadaan tersembunyi maupun terang-terangan, yaitu kamu beribadah kepada Allah seakan-akan kamu melihatnya, jika tidak bias melihat-Nya, maka sesungguhnya Dia melihatmu. Adapun jujur kepada sesame hamba Allah, diantaranya jujur dengan hati, yaitu jujur dengan sejujur-jujurnya tekad untuk melakukan apa yang ia inginkan. Sedangkan jujur dengan lisan, yaitu menggambarkan tentang sesuatu sesuai dengan keadaan sebenarnya. Sedangkan jujur dalam beramal, yaitu memposisikan pekerjaan sebagaimana seharusnya. Orang yang jujur itu yang diucapkannya dan perbuatannya selaras dengan tujuannya.[18]

D.    Factor-Faktor Yang Menghambat Kepribadian Kejujuran
Kejujuran harus dilatih dan dibisakan. Kejujuran tidak tumbuh dengan sendirinya. Oleh karena itu pendidikan sangat berperan penting dalam menanamkan sikap dan nilai kejujuran pada peserta didik (anak).
1.      Faktor Internal
-          Belum memahami konsep kejujuran secara jelas dan maknanya secara hakiki sehingga cenderung melanggar dengan perkataan dusta (berbohong).
-          Mengundang tawa canda dari setiap pembicaraannya.
-          Ingin mendapat sanjungan dan perhatian dari orang yang di ajak berbicara.
2.      Faktor Eksternal
-          krisis keteladanan baik dari orang tua (dikalangan keluarga) guru (dilingkungan sekolah) maupun di lingkungan masyarakat yang terkait dengan tokoh-tokoh agama dan masyarakat. Dapat kita saksikan secara terang benderang tidak adanya kesamaan antara kata-kata dan perbuatan yang semakin merambah hampir di setiap rana kehidupan. Sudah bukan rahasia lagi bahwa di lembaga pendidikan, dapat dijumpai perilaku tidak jujur yang dilakukan individu di sekolah. Mulai dari siswa yang menyontek, sering alasan tidak masuk kelas, sering telat masuk kelas, alasan tidak memngerjakan PR dan lain-lain. Dari permasalahn tersebut, apabila tertanam sejak dini akan tumbuh generasi bangsa yang korupsi waktu dan akhirnya merembet kemanamana.
-          Masyarakat yang belum bisa menghargai kejujuran sebagai sesuatu yang hebat. Seandainya masyarakat juga sudah menghargai kejujuran, pasti akan semakin banyak orang jujur di negeri ini.[19]

E.     Langkah Kongkrit Membentuk Kepribadian Kejujuran
Kejujuran merupakan hal yang penting, namun sedikit orang tua yang peduli akan kejujuran anaknya. Kejujuran di saat dewasa tak lepas dari kejujuran yang ditanamkan saat masih anak-anak. Ketika sejak anak-anak sudah ditanamkan kejujuran, maka sampai dewasa kejujuran itu akan tertanam dalam jiwa si anak. Beberapa hal yang dapat dilakukan untuk menumbuhkan jiwa kejujuran pada anak, diantaranya adalah sebagai berikut:
a)      Jangan membohongi anak
Kadang kala orang tua membohongi anak demi sesuatu hal, misalnya agar anaknya tidak menangis dijanjikan suatau barang, namun ketika anaknya sudah diam barang tersebut tidak diberikan. Sehingga anak akan berfikir ternyata dia di bohongi dan hal itu akan tetap membekas hingga dia dewasa dan ketika dewasa akan berganti membohongi karena sejak kecil telah diajari berbohong oleh orang tuanya.
b)      Hargai kejujuran anak
Sedikit orang tua yang mau menghargai kejujuran anaknya, sehingga ketika si anak berusaha jujur tidak diberikan reward atas kejujurannya. Jika demikian maka kejujuran dianggap hal yang tidak penting sehingga akan mengabaikan kejujuran tersebut.
c)      Tanamkan kejujuran sejak dini
Ketika anak sudah terbiasa jujur sejak kecil maka nilai-nilai kejujuran tersebut akan terpola secara otomatis dalam pribadi anak. Sehingga si anak akan terbiasa jujur hingga di dewasa.
d)     Selalu motivasi anak berlaku jujur
Seorang anak memerlukan bimbingan dan motivasi secara bersinergi agar kejujuran yang ditanamkan pada anak tetap berada dalam diri anak.[20]
KESIMPULAN

Dari segi bahasa, shiddiq  berasal dari kata shadaqa yang berarti benar, jujur, dapat dipercaya, ikhlas, tulus, keutamaan, kebaikan dan kesunguhan. Sehingga secara terminologi kejujuran adalah kesesuaian anatara hati dan perbuatan, perkataan dan kehendak tanpa mengurangi sedikitpun atau memberitakan sesuatu apa adanya.
Banyak dalil Al-qur’an maupun al-Hadis yang menganjurkan kita untuk selalu berkata benar atau jujur, misalnya sebagaimana firman allah dalam surat At-Taubah ayat 119 yang mengisyaratkat kita intuk selalu berkata dan bertindak dengan jujur, karena kejujuran adalah buah dari iman seseorang. Selain itu Rasulullah SAW selalu mendengungkan kita untuk erprilaku jujur dalam setiap keadaan karena apabila kita selalu jujur maka kita akan di tulis sebagai orang yang jujur di sisi Allah, sedangkan apabila selalu dusta, maka kita akan di tulis sebagai orang yang dusta di sisi Allah AWT.
Sedangkan cara yang paling efektif untuk kita mengimplentasikan kejujuran adalah dengan kita berperilaku jujur dalam setiap keadaan diman pun dan kapan pun karena itu merupakan tuntutan bagi kita kaum muslimin khususnya, danyang paling utama adalah kejujuran kita kepada Allah dalam beribadah kepadanya. Selain itu faktor yang menghambat nilai-nilai kejujuran itu ada beberapa faktor yaitu internal dan ekternal. Dan langkah kongkrit dalam membentuk pribadi yang jujur adalah dengan cara; jangan membohongi anak, hargai kejujuran anak, tanamkan kejujuran sejak dini, dan selalu memotivasi anak untuk selalu jujur. 


[1] Muhammad Al-Ghazaliy. karakter Muslim. Risalah, Bandung.1987.  hal: 78
[2] Amalia Husna. SHIDDIQ (Jujur). Inti Medina, Jakarta. 2009.  Hal: 1
[3] Muhammad Rabbi Muhammad Jauhari. Keistimewaan Akhlak Islam. Penj. Dadang Sobar Ali. CV Setia,
Bandung.  2006. Hal: 259
[4] Rafi Udin. Menggali Mutiara Ihya Ulumuddin (Ringkasan). Pustaka Dwipar, Jakarta. 2004. Hal: 470
[5] Muhammad Rabbi Muhammad Jauhari. Keistimewaan Akhlak Islam……… hal: 259
[6] Salim Bahreisy dan Said Bahreisy. “Terjemah Singkat Tafsir Ibnu Katsir”. PT Bina Ilmu, Surabaya. 2005. Hal: 168
[7] Salim Bahreisy dan Said Bahreisy. “Terjemah Singkat Tafsir Ibnu Katsir”……….. Hal: 506
[8] Bahrun Abu Bakar.” Tafsir Jalalain Berikut Asbaabun Nuzuul Ayat” Jilid III. Sinar Baru Algesindo. Bandung. 2003.
Hal; 1254
[9] Al-Bukhari, “Shahih al-Bukhari”,  al-Maktabah al-Syamilah al-Hadis al-Syarif, Volume XX, h. 247, hadis nomor
6094.
[10] Abu Daud bin Sulaiman bin Asy‘as al-Sijistani, Sunan Abi Dawud, bab al-Tasydid fi al-Kadzib, al-Maktabah al
-Syamilah al-Hadis al-Syarif, Volume XIV, h. 324, hadis nomor 4991.
[11] Al-Tirmizi, Sunan al-Tirmizi, bab Ma Jaa fi al-Shidq wa al-Kadzibi, Volume VII, h. 463, hadis nomor 2099.

[12] Al-Tirmizi, Sunan al-Tirmizi, bab A’qaluha wa Tawakkul, Volume IX, h. 433, hadis nomor 2708.
[13] Anas bin Malik, al-Muwatta’, bab Ma Jaa fi al-Shidq wa al-Kadzib, Volume V, h. 1440, hadis nomor
3627.

[15] Iqbal Maulana Haji. “orang-Orang Yang Di Ancam Allah”. Berkah Jaya, Surabaya.  2003. Hal: 44
[16] Syech Muhammad Nawawi. “Nashaihul Ibad”. Penj. Ahmad Abdul Majid. Mutiara Ilmu, Surabaya. 2007. Hal: 69
[17] Muhammad Rabbi Muhammad Jauhari. Keistimewaan Akhlak Islam.............. hal: 270
[18] Muhammad Zaki KhadhrManajemen Total Istiqomah.Shafa, Surakarta. 2008. Hal: 194
[19] http://Edukasi.kompasiana.com/2011/03/14/s. akses, 10-04-2011. 19.00 pm

Tidak ada komentar:

Posting Komentar