Sabtu, 10 Juni 2017

hal-hal yang menyebabkan putusnya ikatan perkawinan dalam islam, makalah

BAB I
PENDAHULUAN

Sudah menjadi kodrat alam, bahwa dua orang manusia dengan jenis kelamin yang berlainan, seorang perempuan dan seorang laki-laki, ada daya saling menarik satu sama lain untuk hidup bersama dalam membangun sebuah keluarga yang sakinah, mawadah dan warohmah. Untuk meligimitasi hidup bersama itu (ikatan perkawinan) dibuat peraturan yang mengatur perihal perkawinan.
Dalam pasal 1 Bab 1 Undang-undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974  dinyatakan ”Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan  tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia, harmonis dan kekal berdasarkan Ketuhanan yang Maha Esa”. Dalam pasal 2 KHI, perkawinan menurut Hukum Islam  pernikahan adalah akad yang sangat kuat untuk mentaati perintah Allah SWT dan melaksanakan-Nya merupakan ibadah.
Dengan demikian jelaslah bahwa dasar sebuah keluarga dalam Islam adalah ikatan darah dan perkawinan. Perkawinan merupakan kebutuhan fitri setiap manusia yang memberikan banyak hasil yang penting diantaranya untuk membentuk sebuah keluarga. Karena dengan sebuah ikatan perkawinan umat manusia akan terjaga kehormatan dan harga dirinya, sehingga syariat Islam maupun hukum Negara mengatur tentang perkawinan itu sendiri.
Perkawinan ditujukan untuk hidup bersama dan kebahagian bagi pasangan suami istri yang bersangkutan. Namun demikian dalam kenyataannya terkadang perkawinan tidak mampu dipertahankan dalam sebuah rumah tangga dan berakhir dengan jalan perceraian dalam hal ini suami menjatuhkan talak kepada istri.
Dan bukan hanya talak saja yang menjadi penyebab putusnya sebuah ikatan perkawinan, akan tetapi ada faktor-faktor lain yang menjadi penyebabnya, seperti kematian, fasakh dan khuluk.
Oleh karena itu, dalam makalah ini kami akan mencoba mengupas tentang hal-hal yang menyebabkan putusnya suatu ikatan perkawinan dalam agama Islam.



BAB II
PEMBAHASAN

A.    Talak
Talak berasal dari bahasa arab yaitu dari kata الطلاق artinya melepaskan atau meninggalkan. Sedangkan menurut istilah syara’ talak adalah :



“Melepas tali perkawinan dan mengakhiri hubungan suami istri”.

Menurut Abdurrahman Al-Jaziri, Talak ialah :


Menghilangkan ikatan perkawinan atau mengurangi pelepasan ikatannya dengan menggunakan kata-kata tertentu.
Sedangkan menurut Abu Zakaria Al-Anshari, Talak adalah :


“Melepas tali akad nikah dengan kata talak dan yang semacamnya”.

1.      Macam-Macam Talak
Secara gari besar ditinjau dari segi boleh atau tidaknya rujuk kembali, talak dibagi menjadi dua macam, yaitu :
a)      Talak Raj’i
Talak raj’i yaitu talak di mana suami masih mempunyai hak untuk merujuk kembali istrinya, setelah talak itu dijatuhkan dengan lafal ( ucapan) tertentu, dan istri benar-benar sudah digauli.



Sebagaimana firman Allah SWT dalam Surat Al-Talak ayat 1:
$pkšr'¯»tƒ ÓÉ<¨Z9$# #sŒÎ) ÞOçFø)¯=sÛ uä!$|¡ÏiY9$# £`èdqà)Ïk=sÜsù  ÆÍkÌE£ÏèÏ9 (#qÝÁômr&ur no£Ïèø9$# ( (#qà)¨?$#ur ©!$# öNà6­/u ( Ÿw  Æèdqã_̍øƒéB .`ÏB £`ÎgÏ?qãç/ Ÿwur šÆô_ãøƒs HwÎ) br& tûüÏ?ù'tƒ 7pt±Ås»xÿÎ/ 7puZÉit7B 4 y7ù=Ï?ur ߊrßãn «!$# 4 `tBur £yètGtƒ yŠrßãn «!$# ôs)sù zNn=sß ¼çm|¡øÿtR 4 Ÿw Íôs? ¨@yès9 ©!$# ß^Ïøtä y÷èt/ y7Ï9ºsŒ #\øBr&
:Artinya          
Hai Nabi, apabila kamu menceraikan istri-istrimumaka hendaklah kamu ceraikan mereka pada waktu mereka dapat (menghadapi) idahnya (yang wajar) dan hitunglah waktu idah ituserta bertakwalah kepada Allah Tuhanmu. Janganlah kamu keluarkan mereka dari rumah mereka dan janganlah mereka (diizinkan) keluar kecuali mereka mengerjakan perbuatan keji yang terang. Itulah hukum-hukum Allah, maka sesungguhnya Dia telah berbuat zalim terhadap dirinya sendiri. Kamu tidak mengetahui barangkali Allah mengadakan sesudah itu sesuatu hal yang baru.” (Q.S. At-Talak: 1).

Dengan demikian, seorang suami boleh untuk merujuk istrinya kembali yang sudah ditalak sekali atau dua kaliselama mantan istrinya itu masih dalam masa idah.
Allah SWT berfirman dalam Surat Al-Baqarah ayat 229 :
ß,»n=©Ü9$# Èb$s?§sD ( 88$|¡øBÎ*sù >$rá÷èoÿÏ3 ÷rr& 7xƒÎŽô£s? 9`»|¡ômÎ*Î/ 3 Ÿwur @Ïts öNà6s9 br& (#räè{ù's? !$£JÏB £`èdqßJçF÷s?#uä $º«øx© HwÎ) br& !$sù$sƒs žwr& $yJŠÉ)ムyŠrßãm «!$#
Artinya :
“Talak (yang dapat dirujuki) dua kali. Setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara yang ma’ruf atau menceraikan dengan cara yang baik. Tidak halal bagi kamu mengambil kembali sesuatu dari yang telah kamu berikan kepada mereka, kecuali kalau keduanya khawatir tidak akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. Jika kamu khawatir bahwa keduanya (suami istri) tidak dapat menjalankan hukum-hukum Allah” .(Q.S. Al-Baqarah: 229).
Yang termasuk dalam kategori Talak Raj’i adalah sebagai berikut :
1.      Talak satu atau dua tanpa iwad dan telah melakukan hubungan suami istri, seperti :
a.       Talak mati dan tidak hamil.
b.      Talak hidup dan hamil.
c.       Talak mati dan hamil.
d.      Talak hidup dan tidak hamil.
e.       Talak hidup dan belum haid.

2.      Talak karena ila’
Ila’ artinya bersumpah. Dalam fiqih munakahat ila’ maksudnya adalah seorang suami bersumpah tidak akan menggauli istrinya dalam waktu tertentu. Jadi, suami dilarang untuk menggauli istrinya sebagai akibat dari sumpahnya tersebut. Apabila ia tetap menghalalkan menggauli istrinya, maka ia wajib membayar denda dan akibat dari sumpahnya itu bukan termasuk talak.

Adapun denda yang harus dipenuhi karena sumpah ila’ yaitu :
a.       Memberikan makanan sepuluh orang miskin, masing-masing satu cupak yang mengenyangkan, atau member mereka pakaian.
b.      Memerdekakan seorang budak, atau
c.       Puasa tiga hari berturut-turut.

b)     Talak Ba’in
Talak ba’in adalah talak yang dijatuhkan oleh suami terhadap istri dan tidak boleh rujuk kembali kepada mantan istrinya tersebut, melainkan harus menggunakan akad baru.
Talak ba’in dibagi menjadi dua macam, yaitu :
1)      Talak Ba’in Sughra
Talak ba’in sughra, yaitu talak yang terjadi kurang dari tiga kali, keduanya tidak rujuk dalam masa iddah, akan tetapi boleh dan bisa menikah kembali dengan akad nikah yang baru.
Adapun yang termasuk ke dalam bagian talak ba’in sughra, yaitu :
·         Talak karena fasakh, yang dijatuhkan oleh hakim di pengadilan Agama.
·         Talak pakai iwad (gaanti rugi), atau talak tebus berupa khuluk.
·         Talak karena belum digauli.



2)      Talak Ba’in Kubra
Talak ba’in kubra, yaitu talak yang terjadi sampai tiga kali penuh, dan tidak ada rujuk dalam masa iddah maupun dengan nikah baru, kecuali mantan istrinya tersebut sudah menikah lagi dengan orang lain dan sudah bercerai dari suami keduanya tersebut.
Yang termasuk jenis talak ba’in kubra adalah sebagai berikut:
·         Talak li’an.
·         Talak tiga.
Ditinjau dari segi sifat syariatnya, talak terbagi menjadi dua bagian, yaitu:
a)      Talak sunni
Yang dimaksud dengan talak sunni ialah tala yang dijatuhkan ketika istri telah suci dari haidnya dan belum digauli. Sejak saat berhentinya dari haid ini , maka ia telah masuk kedalam iddahnya. Dikatakan talak sunni jika memenuhi empat syarat:
1.      Istri yang ditalak sudah pernah digauli.
2.      Istri dapat melakukan iddah suci setelah ditalak
3.      Talak itu dijatuhkan ketika istri dalam keadaan suci.
4.      Suami tidak pernah menggauli istri selama masa suci dimana talak itu dijatuhkan. .

b)      Talaq Bid’iy
Talak bid’iy itu ialah talak yang dijatuhkan sewaktu istri dalam keadaan haid atau suci, namun telah digauli oleh suami. Talak dalam bentuk ini disebut bid’iy karena menyalahi ketentuan yang berlaku, yaitu menjatuhkan talak pada waktu istri dapat langsung  memulai iddanya. Hukum talak bid’iy adalah haram dengan alasan memberi mudarat kepada istri, karena memperpanjang masa iddahnya.
Walaupun ulama sepakat tentang haramnya mentalak istri sedang haid, namun mereka berbeda pendapat apakah talak yang telah dilakukan suami waktu haid itu terjadi atau tidak.  Jumhur ulama berpendapat bahwa talaq dalam masa haid itu jatuh. Selanjutnya ulama yang berbeda pendapat tentang apakah suami yang telah mentalak istri haid itu dipaksa untuk kembali atau tidak.
Menurut Imam Malik dan pengikutnya suami itu wajib kembali kepada istrinya dan dipaksa kalau dia tidak mau. Imam Syafi’i, Abu Hanifah, al-Tsauriy, dan Imam Ahmad berpendapat bahwa hukum rujuk disini hanyalah sunnah, dan oleh karena itu suami tidak dipaksa untuk kembali kepada istrinya.
Sedangkan sebagian yang termasuk ulama Syi’ah Imamiyah berpendapat bahwa talak dalam masa haid itu tidak jatuh. Alasannya adalah karena talak seperti itu tidak diterima oleh Nabi. Dengan demikian, tidak sesuai dengan aturan Nabi dan yang tidak sesuai aturan Nabi itu adalah bid’ah.

Talak ditinjau dari segi ucapan yang digunakan terbagi kepada dua macam yaitu:
1.      Talak Tanjiz, yaitu talak yang dijatuhkan suami dengan menggunakan ucapan langsung, tanpa dikaitkan dengan waktu, baik menggunakan ucapan sharih atau kinayah.
2.      Talak Ta’lik, yaitu talak yang dijatuhkan suami dengan menggunakan ucapan yang pelaksanaannya sesuatu yang terjadi kemudian, baik menggunakan  lafaz sharih atau kinayah separti ucapan suami: ”bila ayahmu pulang dari luar negeri engkau saya talak”. Talak dalam bentuk ini baru terlaksana efektif setelah syarat yang dijatuhkan terjadi.
Talak dari segi siapa yang mengucapkan talak itu secara langsung dibagi kepada dua macam, yaitu sebagai berikut:
1.      Talak Mubasyir, Yaitu talak yang langsung diucapkan sendiri oleh suami yang menjatuhkan talak, tanpa melalui perantara atau wakil.
2.      Talak Tawkil, Yaitu talak yang pengucapannya tidak dilakukan sendiri oleh suami, tetapi dilakukan oleh orang lain atas nama sendiri.
Adapun untuk terjadinya talak, ada beberapa unsur yang berperan padanya yang disebut rukun, dan masing-masing rukun itu mesti pula memenuhi persyaratan tetentu. Di antara persyaratan itu ada yang disepakati oleh ulama, yaitu:
Ø  Suami yang mentalak istrinya
Diantaranya syarat suami yang men-talaq itu adalah sebagai berikut:
a. Suami yang mentalak harus seseorang yang telah baligh.
b. Sehat akalnya
c. Suami yang menjatuhkan talak berbuat dengan sadar dan atas kehendak sendiri.
Ø  Perempuan yang ditalak
Yang ditalak itu berada dibawah wilayah atau kekuasan laki-laki yang mentalak, yaitu istri yang masih terikat dalam tali perkawinan dengannya.
Ø  Shigat atau ucapan talak


B.     Kematian
Kematian merupakan penyebab dari putusnya pernikahan. Dalam hal ini bukan berarti talak, akan tetapi putusnya pernikahan yang diakibatkan oleh kematian adalah putusnya hukum-hukum pernikahan antara suami istri beserta dengan hak dan kewajibannya.
Ada tiga cara untuk mengetahui seorang suami istri telah meninggal dunia, yaitu :
1.      Mati Hakiki
Mati hakiki adalah mati yang terlihat jasadnya. Artinya jasadnya secara biologis tidak menunjukkan tanda-tanda kehidupan. Pastinya yang meninggal tersebut tidak bisa kembali lagi dan tidak bisa rujuk dengan suami/ istrinya lagi.
2.      Mati Takdiri
Mati yang dikira-kira atau dengan dugaan yang sangat kuat. Contohnya, ketika ada sebuah bencana alam. Seorang suami berpisah dengan istrinya dan salah satunya hilang tidak ada kabarnya dikarenakan bencana alam tersebut. Setelah sekian lama tidak kembali, maka diputuskan bahwa yang bersangkutan telah mati. Mati ini bersifat memutuskan dan jasadnya tidak bisa dilihat (tidak di hadapan mata). Menurut hukum waris juga mengatakan bahwa kasus seperti ini bisa diputuskan bahwa yang bersangkutan telah mati. Mati takdiri bersifat dugaan dan ada syaratnya, dan syaratnya sebagai berikut:
·         Yang diduga mati telah hilang dalam kondisi tidak aman (misal: bencana alam, perang, dan lain-lain) dan dalam jangka waktu yang lama, yang bersangkutan tidak ada kabar tentang kehidupannya.
3.      Mati Hukmi
Mati hukmi pada dasarnya sama seperti mati takdiri, tetapi mati hukmi diputuskan oleh pengadilan. Misalnya seperti kasus di atas. Setelah sekian lama tidak ada kabar, maka keluarga mendatangi pengadilan dan pengadilan memutuskan bahwa yang bersangkutan telah meninggal. Mati hukmi sifatnya lebih formal.

C.    Fasakh
Fasakh artinya putus atau batal. Yang dimaksud dengan memfasakh akad nikah adalah memutuskan atau membatalkan ikatan hubungan antara suami dan istri. Fasakh bisa terjadi karena tidak terpenuhinya syarat-syarat ketika berlangsung akad nikah, atau karena hal-hal lain yang datang kemudian dan membatalkan kelangsungannya pernikahan.
Fasakh karena syarat-syarat yang tidak terpenuhi ketika akad nikah, yaitu setelah akad nikah, ternyata diketahui bahwa istri merupakan saudara sepupu atau saudara sesusuan pihak suami.
Sedangkan hal-hal yang datang setelah akad, yaitu :
a.       bila salah seorang dari suami istri murtad (keluar dari Islam) dan tidak mau kembali lagi ke Agama Islam, maka akadnya batal.
b.      Jika suami yang tadinya kafir masuk Islam, tetapi istri masih tetap dalam kekafirannya yaitu tetap menjadi musyrik, maka akadnya batal.
Di samping fasakh terjadi karena kedua syarat-syarat tersebut di atas, ada juga hal-hal lain yang menyebabkan terjadinya fasakh, yaitu sebagai berikut :
a.       Karena ada balak (penyakit belang kulit).
b.      Karena gila.
c.       Karena canggu (penyakit kusta).
d.      Karena ada penyakit menular padanya, seperti sipilis, TBC, dan lain-lain.
e.       Karena ada daging tumbuh pada kemaluan perempuan yang menghambat maksud perkawinan (jima’).
f.       Karena unah, yaitu zakar seorang suami tidak bisa hidup untuk jima’ atau impoten.

 Allah SWT berfirman :
Ÿwur £`èdqä3Å¡÷IäC #Y#uŽÅÑ (#rßtF÷ètGÏj9 4 `tBur ö@yèøÿtƒ y7Ï9ºsŒ ôs)sù zOn=sß ¼çm|¡øÿtR 4 «
Artinya:
“Janganlah kamu rujuki mereka untuk memberi kemudharatan, karena dengan demikian kamu Menganiaya mereka. Barangsiapa berbuat demikian, Maka sungguh ia telah berbuat zalim terhadap dirinya sendiri”. (Q.S. Al-Baqarah: 231).


D.    Khuluk
Khuluk yang dibenarkan oleh Islam, berasal dari kata “khala’assauba” yang berarti menanggalkan pakaian. Karena perempuan sebagai pakaian laki-laki, dan laki-laki juga sebagai pakaian perempuan. Khuluk juga dinamakan tebusan, karena istri menebus dirinya dari suaminya dengan mengembalikan apa yang diterimanya.
Dengan demikian, khuluk menurut istilah syara’ adalah perceraian yang diminta oleh istri dari suaminya dengan memberikan ganti sebagai tebusannya.
Mengenai kebolehan terjadinya khuluk ini menurut kebanyakan ulama, berdasarkan firman Allah SWT :
Ÿxsù yy$oYã_ $yJÍköŽn=tã $uKÏù ôNytGøù$# ¾ÏmÎ/
Artinya :
“Maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh isteri untuk menebus dirinya.” (Q.S. Al-Baqarah: 229).
Menurut Abu Bakar bin Abdullah Al-Mazani, bahwa suami tidak boleh mengambil suatu apa pun dari istrinya. Hal ini sesuai dengan firman Allah SWT :
÷bÎ)ur ãN?Šur& tA#yö7ÏGó$# 8l÷ry šc%x6¨B 8l÷ry óOçF÷s?#uäur £`ßg1y÷nÎ) #Y$sÜZÏ% Ÿxsù (#räè{ù's? çm÷ZÏB $º«øx©
Artinya :
Dan jika kamu ingin mengganti isterimu dengan isteri yang lain, sedang kamu telah memberikan kepada seseorang di antara mereka harta yang banyak, Maka janganlah kamu mengambil kembali dari padanya barang sedikitpun”. (Q.S. An-Nisa: 20).
Maksudnya  adalah menceraikan isteri yang tidak disenangi dan kawin dengan isteri yang baru. Sekalipun ia menceraikan isteri yang lama itu bukan tujuan untuk kawin, Namun meminta kembali pemberian-pemberian itu tidak dibolehkan.

Syarat dan Rukun Khuluk, yaitu:
1.      Harta/ barang yang dipakai untuk khuluk
Dalam hal ini, syarat khuluk bisa dilihat dari segi:
a.       Kadar harta yang dipakai untuk khuluk
Imam Malik, Syafi’I dan segolongan fuqaha berpendapat bahwa seorang istri boleh melakukan khuluk dengan memberikan harta yang lebih banyak dari mahar yang pernah diterimanya dari suami jika kedurhakaan itu datang dari pihaknya, atau bisa juga memberikan yang sebanding dengan mahar atau lebih sedikit.
b.      Sifat harta pengganti
Imam Syafi’i dan Abu Hanifah mensyaratkan bahwa harta tersebut harus dapat diketahui sifat dan wujudnya.
c.       Keadaan yang dapat dan tidak dapat dipakai untuk menjatuhkan khuluk
Jumhur ulama berpendapat bahwa khuluk boleh diadakan berdasarkan kerelaan suami istri, selama hal itu tidak mengakibatkan kerugian pada pihak istri.
Dasarnya adalah firman Allah SWT:
Ÿwur £`èdqè=àÒ÷ès? (#qç7ydõtGÏ9 ÇÙ÷èt7Î/ !$tB £`èdqßJçF÷s?#uä HwÎ) br& tûüÏ?ù'tƒ 7pt±Ås»xÿÎ/ 7poYÉit6B
Artinya:
“Dan janganlah kamu menyusahkan mereka karena hendak mengambil kembali sebagian dari apa yang telah kamu berikan kepadanya, terkecuali bila mereka melakukan pekerjaan keji yang nyata”.(Q.S. An-Nisa: 19).
2.      Istri yang boleh mengadakan khuluk
Dikalangan jumhur fuqaha telah disepakati bahwa istri yang mampu, boleh mengadakan khuluk untuk dirinya, sedangkan perempuan hamba tidak boleh mengadakan khuluk untuk dirinya, kecuali dengan seizin tuannya. Imam mMalik berpendapat bahwa, seorang ayah boleh mengadakan khuluk untuk anaknya (perempuan) yang masih kecil sebagaiman ia boleh menikahkannya.
















BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
Dari pembahasan di atas kami dapat mengambil kesimpulan, bahwa suatu ikatan pernikahan itu bisa berakhir/ putus karena disebabkan oleh beberapa faktor dan diantara faktor-faktor tersebut, yakni sebagai berikut:
a.       Talak
Secara garis besar, boleh dan tidaknya seorang suami merujuk istrinya, talak di bagi menjadi dua, yaitu:
1.      Talak Raj’i
2.      Talak Ba’in (ba’in sughra dan ba’in kubra).
b.      Kematian
Kematian yang bisa menyebabkan sehingga suatu ikatan perkawinan itu bisa putus, yaitu:
1.      Mati Hakiki
2.      Mati Takdiri
3.      Mati Hukmi
c.       Fasakh
d.      Khuluk
Dari keempat faktor  ini, faktor yang paling sering terjadi di umat Islam yang menyebabkan suatu ikatan perkawinan itu berakhir/ putus, yaitu perceraian (talak). Bagi sebagian orang kata talak itu sangat mudah di ucapkan sehingga tanpa dipikir akibatnya talak itu cepat terjadi, namun bagi sebagian orang yang benar-benar berpikir tentang arti (tujuan) dari sebuah ikatan perkawinan tersebut, maka  talak itu tidak akan pernah terjadi.
Sepasang suami istri membangun keluarga yang sakinah, mawadah dan warohmah, diantara mereka saling menyayangi dan mengasihi serta selalu rukun didalam hidup berumah tangga, tetapi takdir Allah tidak ada yang bisa menyangkalnya, sehingga talak (perceraian) itu terjadi disebabkan oleh kematian .


DAFTAR PUSTAKA

·         Moh. Rifa’i, Fiqih Islam Lengkap, 1978, Semarang: Toha Putra.
·         Slamet abidin dan Aminuddin, Fiqih Munakahat, 1999, Bandung: Pustaka Setia.
·         Rahman Ghazaly, Fiqih Munakahat, 2006, Jakarta: Prenada Kencana Group.

·         Tihami dan Sohari Sahrani, Fikih Munakahat : Kajian Fikih Nikah Lengkap, 2010, Jakarta : Rajawali Pers.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar